LGBT, Penyakit atau Bukan?

46 3 0
                                    

APA (American Psychiatric Association) atau awam dikenal Asosiasi Psikiatri Amerika mulanya menggolongkan homoseksualits (termasuk lesbian dan biseksualitas) sebagai gangguan kejiwaan dan memasukkannya ke buku panduan The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) atau Statistik Gangguan Mental (dalam Bahasa Indonesia) pada tahun 1968. Anggapan itu terus berlanjut hingga tahun 1974 dan APA memutuskan untuk mencoret homoseksualitas dari DSM. Setelah dilakukan beberapa pertimbangan.

Selain didasari karena adanya protes besar-besaran dari komunitas LGBT dan para aktivisnya terhadap psikiater karena mengobarkan perang tanpa henti terhadap komunitas gay, dari penelitian yang dilakukan, APA tidak menemukan adanya hubungan yang melekat antara orientasi seksual dan psikopatologi (studi tentang penyakit mental), baik perilaku heteroseksual maupun perilaku homoseksual adalah aspek normal dari seksualitas manusia. Singkatnya, homoseksualitas tidak memenuhi syarat gangguan kejiwaan.

Jauh sebelum itu juga, Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalis yang amat legendaris di bidang ilmu psikologi, sesungguhnya telah menyatakan di tahun 1935 bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit dan tak mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadapnya. Salah satu pertimbangan APA dan lembaga pengkaji psikologi AS juga mendasarkan kebijakannya pada pendapat Freud. (Baca selengkapnya di artikel "Usai Psikiater AS Putuskan Homoseksualitas Bukan Penyakit Jiwa", https://tirto.id/cBJJ.)

Untuk lebih lengkapnya mengenai dikeluarkannya LGBT dari klasifikasi gangguan mental, kalian bisa melihat di situs berikut:
https://www.apa.org/topics/lgbtq/orientation

Selain itu, di dekade-dekade selanjutnya para peneliti di APA memiliki pemahaman yang lebih progresif mengenai keberagaman orientasi seksual dan identitas gender, bahkan sejak 2013 lalu APA telah merilis DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition) yang merupakan pembaharuan dari DSM-IV telah mengganti istilah Gender Identity Disorder yang merujuk pada kondisi individu Transgender menjadi Gender Dysphoria yaitu suatu kondisi medis nyata yang diakui oleh APA, dan pada kasus tertentu diperlukan pengobatan medis. Akan tetapi penting untuk diketahui meski disforia gender merupakan kondisi medis yang diakui, ini bukanlah penyakit kejiwaan.

Di dalam pedoman klasifikasi penyakit yaitu ICD 10 ((International Classification of Diseases 10) yang dirilis WHO (World Health Organization) pun tidak menggolongkan orientasi seksual sebagai gangguan. Dan baru-baru ini, WHO telah merilis ICD 11 (International Classification of Diseases 11) sebagai pengganti ICD 10 versi (versi 04/2019) mengeluarkan Transexualism dari Gender Identity Disorder dan menggolongkannya ke Conditions Related To Sexual Health dan menyebutnya sebagai Gender Incongruence (suatu kondisi di mana seseorang merasa sangat kuat bahwa sex dan gender yang diberikan kepada mereka tidak sesuai dengan identitas gender mereka.)

Di Indonesia sendiri, pada buku PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa II) yang merujuk pada ICD 10 (International Classification of Diseases 10) yang dikeluarkan oleh WHO, tertulis di halaman 288 poin F66 bahwa "ORIENTASI SEKSUAL SENDIRI JANGAN DIANGGAP SEBAGAI SUATU GANGGUAN." baik itu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.

Kalian bisa melihatnya di sini.
https://hermansaksono.com/2016/02/dr-fidiansjah-tentang-lgbt-benar-salah.html

Nah, jadi sudah jelas 'kan bahwa LGBT bukan penyakit atau pun gangguan, melainkan keberagaman seksualitas dan gender. Yuk, bagikan pembahasan ke teman-teman kalian agar kita bisa mengedukasi satu sama lain dan bersama kita menghentaskan diskriminasi dan stigma negatif terhadap komunitas pelangi.

"Jadi empati kalau ngerti"
-Kabar Sejuk

The Straighn't AgendaOnde histórias criam vida. Descubra agora