"Ra, sekarang bukan waktu yang tepat buat ngomongin ini."

"Terus kapan?" gue hampir mendekati frustasi dan gak bisa berkata-kata lagi. Semuanya perlahan berubah menjadi hening dalam kurun waktu satu sampai dua menit. Ira memberikan giliran bicaranya pada gue karena dia gak mau menunggu lagi.

Tapi terlalu lama.

Terlalu lama gue menemukan jawabannya, sampai..

KREK.

Gue dan Ira sama-sama menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Melihat sesosok cewek yang melongok dari balik pintu sambil celingak-celinguk dengan ekspresi datar membuat gue langsung membesarkan mata dan sedikit membuka mulut. Ira ternyata juga melakukan hal yang sama.

"Oh? Masih belum selesai?" dengan santai dia mengangguk-angguk pelan, lalu berniat menutup pintu lagi sambil bergumam, "Sorry, sorry."

"...Woy," sontak gue langsung menarik gagang pintu, menahannya untuk tertutup lagi supaya dia bisa kembali masuk ke dalam ruangan. "Lo nguping dari tadi?" Sampe lupa, gue baru inget dia masih ada di ruangan gue karena udah terlanjur kaget dengan kedatangan Ira yang tiba-tiba.

"Gak." Lagi-lagi dia menatap gue dengan datar sambil melepas sesuatu dari telinganya. "Saya pake headset."

"......" Gue masih menatapnya gak percaya ketika dia menunjukan sebelah headset itu pada gue.

"Itu siapa, Yan?" Jelas Ira langsung mengajukan pertanyaan itu. Posisinya gak enak banget. Masih terlalu pagi untuk ada cewek yang masuk, diem di dalam ruangan gue, sekalipun dia anak cuma anak magang.

"Ini..."

"Jadi ini berantemnya udah selesai belum?" dia memotong ucapan gue sambil melepas kedua headsetnya. Setiap kali gue memperhatikan ekspresi datar yang bener-bener sama pas kita ketemu di Melbourne, gue masih gak habis pikir aja ada orang yang bisa se-gak bersemangat itu menjalani hidup kayak dia. Apalagi cewek. "Kalau udah selesai saya mau numpang lewat nih ke ATC, udah telat."

Ira cuma terperangah, gak tau harus bereaksi apa. Ya apalagi gue?

Dia sepertinya sedang menunggu penjelasan dari gue atau Ira, tapi karena gak ada yang menjawab, dia cuma menghela napas sebentar sebelum akhirnya berjalan menjauh dari kami.

"Ngapain lo pagi-pagi ada di ruangan cowok gue?" langkahnya terhenti ketika suara ketus Ira terdengar.

Ah elah, gue cuma bisa merutuk dalam hati, paling males untuk berada di situasi seperti ini lagi. Kalau udah marah, gak ada yang bisa menghentikan Ira dan perilakunya. Dan tentunya gak sedikit orang yang bisa terima diperlakukan kayak gitu.

Saat Alaska berbalik, gue mengira dia akan terkejut dan menjelaskan dengan hati-hati, abis itu langsung pergi. Tapi ternyata, ekspresi wajahnya masih datar dan tenang seperti biasa, sama seperti suaranya ketika berkata,

"Kalau lo gak mau ada siapa-siapa di ruangan cowok lo, suruh dia berhenti jadi head engineer." lagi-lagi dia bikin gue terkejut dengan ketengannya. "Bawa aja ke rumah, kunciin pintunya biar gak bisa ke mana-mana."

Karena Ira sama terkejutnya dengan gue, terjadi keheningan yang lebih panjang dari tadi. Barulah gue tau bahwa caranya menatap Ira cukup tajam dan intens terlepas dari ketenangan wajahnya.

Dan belum sempat gue berbicara apa-apa lagi dengannya, Alaska udah pergi begitu aja meninggalkan kami.

Dan belum sempat gue berbicara apa-apa lagi dengannya, Alaska udah pergi begitu aja meninggalkan kami

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Langit AlaskaWhere stories live. Discover now