21 : Direnggutnya Kebebasan

22.8K 1.6K 47
                                    

Pandangan Zarra yang sebelumnya gelap gulita kini mulai menjelas meski tetap bersahabat dengan gelap. Tetesan air dari langit-langit ruangan yang membasahi wajahnya menimbulkan bau busuk amis yang membuat Zarra berpikir bahwa itu adalah air yang berasal dari kamar mandi. Wajahnya bergeser ke samping, merasa jijik karena pikirannya berlabuh ke mana-mana. Saat matanya menangkap genangan berbau tak sedap itu, kesadaran benar-benar pulih sepenuhnya.

Tenguknya terasa nyeri. Dia yakin sekali, tepat sebelum kehilangan kesadaran ada seseorang yang memukulnya ketas. Dan keyakinannya semakin mengakar kuat ketika melihat seorang pria duduk di satu-satunya bangku kayu reyot yang bisa hancur kalau sering diduduki. Ingatan samarnya melayang ke masa lalu ketika memperhatikan topeng kehitaman yang menutupi hampir seluruh bagian wajah kecuali bibirnya yang tersenyum sinis.

Dia adalah pemilik Haidar.

Orang yang telah mengejarnya sampai ke Human World karena dia telah membawa sesuatu, yang sampai saat ini tak ia ketahui bentuk dan rupanya.

Orang yang telah memaksa Haidar berbuat jahat!

“Kau!” Zarra bergerak dari duduknya, ingin bangkit namun pergelangan kakinya terasa berat.

Zarra mengaduh begitu bokongnya bergesekan dengan lantai kasar penjara bawah tanah di kastil yang sempat membesarkannya dulu. Bukan kehilangan kesadaran yang membuatnya jatuh tersungkur, tapi kakinya ini telah dirantai logam seberat tiga kilogram yang berikatan dengan bongkahan batu sebesar buah kelapa. Mempersulitnya berjalan mendekati pagar besi, dan yang lebih menyebalkannya lagi, rantai itu berderik ramai ketika ia menggerakkan kaki.

Bersamaan dengan Argie yang mendekati ruang tahanan Zarra, gadis itu memaksa tubuhnya untuk membiasakan diri dengan benda berat yang menggelayuti pergelangannya. Diseret kakinya dengan paksa demi berhadapan dengan pria mengerikan yang tak ia ketahui namanya ini. Keadaan ruangan lembab dengan beberapa lumut yang sudah berkembang biak di beberapa sudut tidak menyurutkan mulutnya untuk membentak Argie yang berdiri di balik jeruji besi berlapiskan sihir.

“Kenapa kau melakukan ini?!” tangannya hendak mencengkram batang tipis besi yang membentenginya dengan kebebasan, tapi dia langsung terlempar ke belakang karena aliran listrik menyengat kulitnya tepat ketika menyentuh logam batangan itu.

Tatapan tajam Argie tertuju lurus-lurus. “Sebenarnya aku tak memiliki urusan dengan makhluk sepertimu,” sorotnya berubah mengejek. “Tapi karena kau telah mencuri sesuatu milikku, kau harus mengembalikannya padaku.”

Otak Zarra tak sampai mengerti deretan kalimat Argie. Apa yang diambil oleh dirinya?

“Aku nggak ngerti,” ia linglung. “Kalau kamu memang menginginkan sesuatu dariku, kau bisa memintanya dengan baik-baik! Bukan mengurungku seperti ini!”

Senyum mengejek itu membuat Zarra muak, ingin rasanya ia menendang pria itu dan menginjak wajah bertopengnya sampai menggepeng dan membuangnya di laut. Kalau itu terlalu biasa saja karena mudah untuk dilakukan mengingat Laraine dipenuhi genangan air, mungkin Zarra bisa mencoba memukulnya berulang kali dengan batuan besar yang memperkokoh dinding di ruang bawah tanah ini sebelum dimasukkannya dalan peti mati dan diberi formalin. Agar penerusnya kelak tau siapa yang pernah mengurungnya di tempat gelap dan busuk.

“Kau yakin ingin aku meminta izin untuk mengambil milikku?” dia berdesis, tapi telinga Zarra yang tidak tuli jelas mendengarnya.

Kening Zarra berkerut bingung.

“Haidar belum mengatakannya padamu?” tanyanya bersidekap memandangi Zarra kemudian berjalan sangat perlahan seraya mengusap dagu dengan gaya angkuh. “Baiklah ...,” kemudian dia berbalik arah dan senyum licik itu tercetak jelas di wajah Argie. “Kalau begitu aku akan mewakili Haidar dan membeberkan semuanya padamu.”

FL • 2 [Armonía]Where stories live. Discover now