Tanpa Syera, mungkin saja takkan ada kata 'kedekatan' bagi Farhan dan Hizam. Takkan ada rasa sayang yang bisa Hizam rasakan tanpa wanita itu, takkan ada muncul kesadaran bagi Farhan jika ada sosok jagoan kecil penerusnya yang tengah menginginkan kasih sayangnya.

Mungkin, jika saja tak ada Syera, takkan pernah Farhan rasakan arti kebahagiaan dalam ibadah terpanjang ini, yaitu menikah.

Farhan menggeser tubuh Syera agar berhadapan dengannya, masih dengan keadaan berjongkok ia meletakkan kedua tangannya di atas paha sang istri. Syera yang belum mengerti dengan tindakan suaminya memilih diam dan menunggu Farhan kembali membuka suara. "Kamu tahu?–"

Suara Farhan melembut, tapi tiba-tiba saja pria itu mengeluarkan dengusan kesal kala sang istri memotong perkataannya. "Enggak," jawab Syera menahan tawa di balik nikabnya.

"Mas mau romantis-romantisan dulu, Yang. Kamu jangan bercanda, mumpung nggak ada Hizam," tegur Farhan mengembungkan pipi.

"Iya-iya. Mas mau ngomong apa? Syera minta maaf udah motong pembicaraan Mas," kata Syera lembut. Demi menghilangkan rasa kesal Farhan, wanita itu membingkai pipi sang suami menggunakan kedua tangannya.

Senyum kembali terurai di bibir Farhan, tangannya memegang tangan Syera yang masih membingkai pipinya. "Terima kasih untuk semua," ungkapnya tulus.

Tak bisa dijelaskan lebih, maksud dari perkataan Farhan. Bibir pria itu begitu kelu menjabarkan segala hal perihal kesabaran sang istri. Wanita yang telah ia renggut masa awal dewasanya. Wanita yang seharusnya masih menikmati masa-masa nongkrong tapi harus berusaha keras menaklukkan putranya.

Ada banyak hal yang ingin pria itu sampaikan. Namun, ia terlalu cinta hingga tak ada kata yang mampu mewakilkan perasaan itu.

"Maaf, Mas telah menjadi pria yang egois. Mas pernah begitu menginginkanmu hingga lupa bahwa ada sosok yang lebih berhak mendapatkan semua perlakuan baikmu."

"Orang itu adalah Bunda dan Ayah."

"Kamu besar di rahim Bunda. Belajar makan, minum, mandi, berganti pakaian, dirawat, dibesarkan, dididik dengan kasih sayang dan penuh sabar. Semua beliau yang melakukan."

"Berjumpa dengan Ayah sang cinta pertamamu ... beliau yang rela panas-panasan, jarang pulang, jarang bertemu dengan putri tunggalnya ... hanya demi memenuhi kewajibannya. Beliau juga adalah orang yang selalu maju selangkah ketika putrinya ini dilukai."

Farhan menunduk sejenak, lalu terkekeh sembari menatap intens iris Syera. "Tapi tiba-tiba, aku datang dan mengajakmu hidup bersama–"

"Datang untuk menyempurnakan imanku, dan menjadi mantu idaman Ayah Bunda. Pria sabar yang mampu membantu si fakir ini belajar sedikit demi sedikit."

Syukur itu takkan pernah henti Syera agungkan. Ada banyak amanah yang ia dapat dari hidupnya setelah menikah. Ada pula pelajaran yang membuatnya semakin tahu bahwa kehidupan dunia takkan pernah baik jika tidak disikapi dengan sabar.

Menjadi ibu sambung bagi anak yang pernah terluka karena keluarganya sendiri membuat Syera merasa bahagia. Bukan bahagia karena berhasil merebut hati sang anak, tetapi bahagia bisa membantu anak itu merasakan indahnya dekat dengan keluarga.

Tak ada alasan untuk malu menikah muda dengan buntut satu, sebab tak ada yang hina dari itu.

Jika menikah dengan duda buntut satu dipandang rendah dan hina, lantas apa bedanya menikah dengan perjaka yang masa mudanya gemar berzina?

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang