Kecelakaan

13 6 0
                                    

Hidup adalah ruang hampa yang harus selalu kau isi dengan kecerian.

*****

Langit yang masih gelap serta suasana dingin yang masih sangat terasa menusuk ke dalam tulang membuat kasur dan selimut tebal menjadi pilihan terbaik untuk berlindung. Hal itu mungkin terjadi pada sebagian orang, namun tidak termasuk Ilmi. Gadis itu bahkan sudah bangun sejak satu jam lalu sebelum lantunan azan yang di lafalkan merdu oleh para muazin itu terdengar.          

“Ilmi!” ucap seseorang dari balik pintu seraya mengetuk-ngetuk pelan sebanyak tiga kali.

“Ayok, Nak. Abi sudah siap tuh, jangan terlalu lama.”    

Tak perlu menunggu lama, ternyata pintu yang baru saja diketuk itu langsung terbuka dari dalam, menampilkan Ilmi yang sudah memakai mukenanya lengkap dengan sebuah sajadah biru yang dipegang oleh tangan kirinya.

“Iya, Umi.”

“Umi kira kamu masih tidur.” Sebuah candaan kecil Uminya itu membuat Ilmi tersenyum.

“Ah, Umi ini.”

Ilmi dan Uminya berjalan menuju ruang tengah di rumah mereka, di sanalah biasanya keluarga mereka berkumpul serta senantiasa melaksanakan solat secara berjamaah, terkecuali pada waktu zuhur dan asar.

“Oh, iya. Adik sudah bangun kah?” tanyanya mengingat sang adik sering kali bangun lebih terlambat dibandingkan anggota rumah yang lainnya.

“Aku di sini, Kakak.”

Ilmi membulatkan kedua matanya, satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulut yang sengaja ia buka sedikit lebih besar.

“Wah, Massyaallah tabarakallah alhamdulillah.”
Vilda, adik Ilmi yang melihat perilaku berlebihan kakak perempuannya itu merasa kesal, dirinya sangat sadar bahwa ia sedang di ejek oleh sang kakak. “Biasa aja kali, Kak.”

“Sensitif banget sih, Da. Kakak cuma ngucapin syukur aja, emang salah, ya?” balas Ilmi yang senang telah membuat adik satu-satunya itu kesal. Vilda melipat kedua tangannya yang tertutup oleh mukena dan menaruhnya di dada, “Ucapan syukurnya sih enggak salah, tapi cara Kakak ngucapinnya itu enggak baik, karena mengandung unsur sarkasme.”

“Hahaha.…” Tawa renyah Ilmi pecah, membuat Abi dan Uminya yang sedari tadi menyaksikan perdebatan kecil kedua putri tercintanya mengukir rsenyum, dan menggeleng-gelengkan pelan kepalanya.

“Iya deh maaf.”

“Tak, na,” ujar Vilda menolak.

“Sudah-sudah, mari kita salat.” Lerai seorang lelaki berkepala empat itu berdiri dari tempatnya seraya membenarkan posisi peci di kepalanya yang sedikit miring.

“Baik, Abi.”

***

Hari sudah semakin siang, matahari yang semula berwarna kemerah-merahan kini mulai terpancar menyilaukan mata. Di dapur sebuah rumah yang sederhana namun sangat rapi. Terdapat seorang wanita yang sudah berusia 42 tahun terlihat begitu sibuk membuat beberapa bolu dengan celemek yang ada pada tubuhnya. Senyuman selalu merekah pada wajahnya, yang seketika membuat aura wajahnya tampak terlihat awet muda.

“Ada yang bisa Ilmi bantu, Umi?” tanya putri sulungnya yang tiba-tiba saja datang membuat wanita 42 tahun itu sedikit terkejut.

“Ah iya, tolong kamu aduk ini hingga tercampur rata ya,” ujar Soraya, wanita yang dipanggil umi itu sembari memberikan sebuah wadah yang berisi adonan bolu. Ilmi mengangguk ringan, salah satu tangannya membentuk posisi hormat seperti layaknya sedang hormat kepada bendera merah putih, “Siap, Bu bos.”

Cahaya ImanWhere stories live. Discover now