Tertatih 3

79 16 24
                                    

"Mbak Naura, nanti tak jemput ya! Luna sampai nangis nih," ucap Devanka dari seberang. Aku hanya mengiyakan seraya menahan tawa.

Sejak Luna hamil, sahabatku itu selalu memintaku kerumahnya. Entah memasak buat si Luna atau bahkan sampai disuruh menginap. Kalau sampai menginap sih si Mas Fatih juga ngikut. Si Devanka sih seneng bisa ngobrol semalam suntuk sama teman seperjuangannya itu tapi si Mas Fatih bakal sewot sampai seharian.

"Abang juga telepon Mas Fatih ya! Kemaren dia sewot tuh!"

"Siap ibu Faezya!" Aku hanya tertawa jika ia memanggilku dengan nama suami. Ia pun menutup panggilannya.

Saat tengah menulis pesan ke Mas Fatih seseorang mencolek bahuku.

"Eh iya?" Setelah menoleh, ternyata rekanku, Mbak Rina yang memanggilku.

"Kenapa Luna?" tanya Mbak Rina.

"Biasa, dia lagi manja. Suaminya sampai stress!" terangku. Mbak Rina pun tertawa setelah kuceritakan kegaduhan yang dibuat si Utunnya Luna Devanka itu.

Aku melihat chat terakhir Mas Fatih, sudah 15 menit yang lalu. Kalau diperkirakan harusnya si Mas suami  sudah sampai. Tapi sedari tadi aku duduk di taman depan, kendaraan Mas Fatih belum muncul juga. Semoga nggak pakai motor ninjanya deh jemputnya. Enak dia Mas Fatih nggak enak di aku kalau motor nungging begitu.

Suara klakson mengejutkan ku, aku yang sibuk membaca komen para pembacaku di platform orange itu pun mendongak. Ternyata Mas suami sudah datang. Dia datang dengan motor matic-ku, sukurlah.

"Maaf ya, Yang, tadi dipanggil komandan sebentar pas mau berangkat jemput," terangnya saat aku menggunakan helmku.

"Oalah, pantes. Ndak papa, Mas, nggak molor banyak kok." Aku pun naik di belakangnya.

Belum benar aku menempatkan diri kedua tanganku ditarik untuk memeluk tubuh Mas Fatih. Aku hanya tersenyum, si Bapak satu ini sejak menikah selalu seperti itu. Ia pun juga pernah mengatakan kenapa sering jemput pakai motor.

"Enakkan pakai motor, Yang, ada yang meluk dari belakang."

"Mobil kan juga bisa pegangan tangan kali Mas."

"Kurang intim." Aku hanya memutar bola mataku. Kayaknya si Mas suami ini mulai tertular kemesuman Devanka. Keseringan bareng sih.

"Mas, uda ditelepon Bang Devanka?" tanyaku saat kami masi perjalanan ke rumah.

"Udah tadi. Katanya kamu nggak perlu nginap cuma masak bareng sama Mbak Luna bikin apa tadi diset?"

"Hah? Dessert kali Mas," koreksiku seraya tertawa.

"Yo lali, Dek (Ya, lupa, Dek)," jelasnya.

"Yaudah, jadi Mas nggak usah sewot lagi,"

"Lho, tadinya mau disuruh nginap kok."

"Lha? Kok nggak jadi?"

"Yo nek nginep kapan aku gawe anak'e, Dek!" Aku yang sedikit terkejut mendengar alasannya pun mencubit perutnya.

"Mesum!!"

"Lho kok malah dicubit? Bener kan, Dek, Devanka mah udah jadi lha aku mau bikin aja direcokin sama mereka terus. Mana belum bisa cuti bulan madu lagi!" Aku hanya menahan tawa mendengar omelan Mas Fatih. Curhat dia.

"Sabar sayang, gitu-gitu temen seperjuangannya Mas itu."

"Apes-nya sih itu. Untung rumah kita nggak sebelahan dek. Nggak bisa bayangin kalau rumah kita sebelahan. Bisa-bisa Devanka bikin conecting-door." Aku mengangguk setuju dan tertawa. Kadang ide pasangan itu out off the box. Orang yang nggak mengenal mereka ini mungkin akan terkejut dengan sifat asli mereka.

The FootpathsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang