Tertatih 2

117 17 52
                                    

Kami terdiam, hanya suara musik dari audio mobil yang kuputar sejak kami masuk tadi. Fatih memberiku waktu sebelum mengatakan semua. Aku meremas kedua tanganku, mengumpulkan sedikit keberanian.

Aku melirik Fatih, ia hanya balik menatapku lalu tersenyum lembut. Entah kenapa senyumannya menular. Dari situlah aku memperoleh keberanian menceritakan semua yang aku alami sampai detik ini. Semua kejadian yang membuatku tertatih.

"Lantas, masih mau stagnan?" tanya Fatih sesaat setelah aku berhenti bercerita.

"Aku lelah," lirihku.

"Kalau gitu, berjalanlah meski tertatih!"

"Apa aku bisa?"

"Bukankah sudah Naura? Kamu sudah melakukannya, Ra, bahkan menurutku sudah bukan tertatih lagi. Kamu sudah berjalan meninggalkan masalah itu juga menghadapinya dengan tegar." Aku menoleh, menatapnya yang tersenyum padaku.

"Bohong!"

"Ngapain? Kamu udah melakukan yang terbaik Ra, kamu itu hanya menyesali sosokmu dulu. Sekarang tunjukkan pada semua orang bahwa kamu menjadi sosok yang lebih baik dari kamu yang kemarin. Dan soal Ayahmu, doakan saja beliau agar diberi kelembutan hati. Meski begitu, dia tetap Ayahmu Ra. Dan satu lagi, ada aku jika kamu lelah bersandarlah padaku." Aku mendongak menatapnya.

"Ra, gunakan aku untuk sandaranmu. Bukannya dari dulu aku bilang jangan takut bergantung sama aku?" lanjut Fatih kembali.

Ya, dia mengingatkan akan ungkapan perasaannya beberapa waktu yang lalu. Dulu, aku menolaknya karena kupikir hatiku masih belum bisa lepas dari masa laluku. Juga takut responnya saat dia tahu keluargaku tak baik-baik saja. Tapi ternyata ia tetap gigih. Kukira ia mundur seperti laki-laki lainnya.

"Dulu, aku ragu. Takut kamu cuma pelampiasan," lirihku.

"Sekarang? Apa kamu minta aku mundur?"

"Jangan!! Eh," ucapku reflek. Aku menutup mulutku seketika. Sedang, lelaki di sampingku ini tertawa. Ia menepuk puncak kepalaku.

"So? Apa keputusanmu? Aku mundur dan kita tak menjadi apa-apa lagi bahkan as a friend pun nggak sama sekali atau, jadikan aku sandaranmu seumur hidup dan aku akan menjadi pendampingmu till jannah?" Fatih merubah posisi duduknya menghadapku. Ia tersenyum dan menatapku tajam. Aku bisa melihat dari sorot matanya bahwa ia serius sama seperti dulu. Ia masih ada di sisiku sampai detik ini.

"Makasih," lirihku seraya menghadapnya. Ia mengernyitkan dahinya.

"Makasih udah mau di sisiku meski kadang lebih sering aku usir. Terima kasih kamu masih tetap diam-diam memperhatikanku meski kadang aku abaikan tapi maaf," kujeda ucapan ku. "Sepertinya aku ingin kamu tetap disisiku menjadi pendamping hidupku," lanjutku sedikit lirih tanpa berani menatap wajahnya.

"Jawabnya liat aku dong cantik!" goda Fatih padaku.

"Ih, udah ya, nggak ada pengulangan," kesalku. Aku membalikkan tubuhku menghadap kemudi. Bersiap meninggalkan taman. Saat selesai mengenakan seatbealt tiba-tiba ada benda yang seolah terjatuh di depanku. Ia menggantung tepat di depan wajahku. Sebuah kalung dengan liontin cincin.

"Kalau gitu, pakai ini ya! Nanti kalau uda nikah baru cincinnya!" ucap Fatih membuatku sontak menoleh ke arahnya.

"Eh?"

"Aku sebenernya udah siapin ini dulu pas kamu nolak aku. Tapi, feelingku sih bilang lamaran kedua nanti bakalan diterima, jadi dipakai ya!" perintahnya. Aku hanya menatap kalung yang kini ada di tanganku.

"Atau mau dipakein?"

"Eh aku aja!"

"Emang bisa? Sini Mas pakein di luar hijab, nanti kalau udah baru kamu masukin!" Aku mengangguk, menyerahkan kembali kalung dengan liontin cincin yang berukir inisial kami berdua saat ku amati tadi. Aku membelakanginya, lalu ia membantuku memasangkan kalung itu.

The FootpathsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang