Bab 15 - Ar Pulang!

25 8 0
                                    

15. Ar Pulang!

Teriakan Zaara menggelegar di ruangan bernuansa serba putih itu. Bibirnya berucap memanggil para tim medis untuk segera memeriksa keadaan ibunda tercintanya.

"Umi, umi udah sadar?"

Perlahan kelopak mata Ummia terbuka, dia menatap samar-samar apa yang ada di hadapannya. Lantas beberapa detik kemudian wanita itu menggapai jemari Zaara dan menggenggamnya erat penuh kasih sayang.

Raut wajah perempuan itu sudah tidak normal, dia tampak ketakutan dengan napas tersengal-sengal seperti seseorang yang baru habis berlarian. Perkataan salah seorang tim medis membuat Zaara mengelus dada.

"Alhamdulillah, Umi baik-baik aja. Umi udah sadar, Umi udah bangun, Umi udah bisa ngeliat Zaara!" seru perempuan itu histeris seketika. Dia memeluk hangat tubuh Ummia yang saat ini sedang menampilkan senyum lugunya.

Selang beberapa detik, dua anak beranak datang dan dengan segera ikut merasa senang. Keluarga itu saling melemparkan senyum manis khas tersendiri. "Umi kangen Kak Zaa doang? Yaudah, aku sama Bang Adhan tenggalam aja deh!" kata Clara dengan wajah yang mengikuti sang kakaknya.

"Mulai! Jutek-jutek tapi kang gibah, ih!"

Zaara melepaskan pelukan itu, dia menatap nanar manik adiknya yang nakal itu dengan tajam. "I-ih, Abi! Teteh Zaa jahat, aku tak mau bersampingan kamar dengannya. Titik no komen, titik no koma, titik no spasi!" kata perempuan dengan kerudung segiempat yang diikatnya di leher.

Suasana Jakarta seolah menjadi saksi bahwa keluarga itu mampu harmonis dalam seketika. Angin kian berembus masuk ke pori-pori. Malam semakin sepi, suara sorak kendaraan pun mulai berkurang untuk berlalu lalang di sekitaran rumah sakit ini.

Drama itu membuat Zaara tak tahan untuk mengeluarkan suara tawanya. Perutnya sudah tidak tahan untuk menahan tawa, hingga pada akhirnya tawa itu menggelegar membuat para tim medis itu menggeleng-geleng kepala sambil pamit untuk keluar kembali mengerjakan pekerjaan umumnya.

"Assalamualaikum."

Suara berat seseorang dari arah luar terdengar pelan. Hal itu membuat keempat orang ini menoleh ke arah sumber suara. Sesaat, Zaara bergerak mendekat ke arah pintu sambil berucap silakan masuk.

Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pemuda berambut gondrong berdiri di sana dengan senyum yang merekah di sudut bibirnya. Tak berujung satu menit, Yusuf segera menghampiri pemuda itu lantas berucap lantang.

"Ke mana saja Anda dua minggu terakhir ini? Oh, Anda mau mencoba lari dari masalah, bukan? Ah, tentu. Tidak ada maling yang mengaku kesalahannya di hadapan polisi, 'kan? Jika pun ada, berarti dia sangat bodoh dan tak sepintar Anda!" seru Yusuf memang pelan. Namun, kata-kata itu tajam seperti ujung pedang.

"Tak sopan!"

Mendengar ucapan itu, sosok pemuda bernama Dylan itu menunduk dengan sopan. Dia memang salah, tetapi bukan keinginnya untuk lari dari masalah. "Maaf," tutur pemuda berbaju kemeja bunga-bunga itu pelan.

"Hahaha!" Suara tawa Yusuf lebih dulu terdengar berbanding ucapannya yang membuat penasaran. "Maaf? Sebegitu mudahnya kah Anda meminta maaf? Sudah banyak masalah yang menumpuk dan secara tak sehat Anda memilih untuk lari begitu saja, lalu dengan mudahnya meminta maaf? Terima kasih sudah membuat saya tertawa Anak Muda!"

Lelaki mengerikan itu berucap sambil menepuk-nepuk pelan pundak Dylan. Ketika sedang berada di sisi Yusuf, semua akan merasa seperti sedang diintrogasikan oleh para polisi, tentara, dan seluruh penjahat dunia.

"Besok petang jumpa saya!"

***

Hujan di malam hari itu membuat siapa saja terhambat akan aktivitas mereka. Waktu kian malam, suasana semakin sepi dan runyam. Zaara menggigit jari jempolnya tampak sedikit ketakutan. "Dosen gila, bisa-bisanya nyuruh aku ke kampus tadi petang!"

Dia berucap geram dengan tatapan sudah tak lagi terkendalikan. "Kiran, kamu pun deh jahat! Kenapa harus pulang ke Bandung secepatnya sih? Kan aku sendirian!" seru perempuan itu mencoba menghilangkan rasa sunyi.

Dia berdiri seorang diri di halte kampus itu. Kampus sangat sepi, hanya lampu-lampu saja yang tampak benderang di sana. Beberapa saat, Zaara pun memberanikan diri itu menoleh sekilas ke arah kanan, kiri, depan, belakangnya untuk memastikan bahwa tak ada zombie menyerang seperti yang ditonton perempuan itu di televisi.

"Katak oh katak kenape kau panggel hujan?"

Zaara berucap seperti manusia yang sudah tidak waras untuk ke sekian kalinya.

"Macam mane aku tak panggel, ular nak makan aku, ular nak makan aku. U, u, u, u, u!"

Ternyata, lelucon itu pun tak berhasil mengurangi rasa takutnya. Malah dia merasa jika dia tertawa, maka seseorang akan menyahutinya dengan balik tertawa. Ah bodoh! Keadaan semakin mengerikan saja!

Tak ada satu pun taksi lewat di sini, tak ada satu pun kendaraan berjalan di kampus horor ini. Hujan semakin deras, rasa-rasa tak ada harapan lagi saat ini untuk bisa pulang. Kening Zaara seketika berkerut, dia seperti mendapatkan sebilah ide.

"Kalau aku pura-pura pingsan terus ketiduran sampai besok boleh gak, ya?" Dia kembali bermonolog, bertanya pada diri sendiri, menjawab kepada diri sendiri.

Dia sedang membayangkan, ketika saat itu dia tertidur di halte ini. Lantas, seseorang menyeretnya untuk pergi ke suatu tempat. Seseorang itu mengambil ginjalnya untuk dijual hingga .... "Yassalam, sudah-sudah cukup, Sayang! Zaara nggak boleh ketiduran, Zaara harus nunggu jemputan! Ini handphone juga kenapa harus mati di saat yang tidak tepat, sih?"

Dia terus merutuki diri. Tak kunjung itu, dia pun merutuki Hamdhan, Abi Yusufnya yang garang, Pak Abraham yang merupakan dosen dadakan, serta Kirana.

Jam menunjukkan pukul 20.17 malam hari. Suara katak kian terdengar sahut menyahut, begitu pula jangkrik yang tak kunjung berhenti bersorak.

"Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang baik hati ini. Apakah ini azab yang harus hamba-Mu ini lewati? Ataukah ...."

Duar!

Suara kilatan putih itu terdengar kuat. Membuat Zaara tersentak kaget kemudian mengerikan keningnya bingung. "Azab sinetron indosiar itu sampai ke sini, kah?" tanya perempuan itu sedikit menjinjit guna mencari arah sumber kilatan tadi seperti seseorang yang kehilangan akal.

"Ya Allah, datangkanlah pahlawan kesiangan untuk kali ini aja. Zaara janji nggak akan sering-sering nyuri cilok Clara lagi Ya Allah. Zaara janji nggak akan usilin Mas Gulali lagi Ya Allah. Zaara janji nggak ak---"

Ucapan perempuan yang sedang menutup matanya sambil berdiri itu seketika berhenti ketika mendengar suara klakson mobil berbunyi. Tak membuka mata, tetapi dirinya membatin sambil bertanya-tanya siapakah itu?

"Polisi?"

"Penjahat?"

"Pahlawan kesiangan?"

Secara tiba-tiba Zaara ingin berteriak sekencang-kencangnya sambil menangis haru di antara suara hujan yang kian deras tak berhenti.

"Ayo pulang, hujan semakin deras, Ra!"

Suara itu sontak membuat Zaara membuka matanya. Dia melihat ada seorang pemuda berjaket tebal di hadapannya yang tampak sedang membuka payung berwarna pink itu.

"Ma-mamas?"

"Eh, marimas?"

Mendengar itu, pemuda yang berada di hadapannya secara tidak sengaja mengembuskan napas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Kenalin, Zayn Arroyan Dylan."

-To Be Continued-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GulaliWhere stories live. Discover now