Bab 12 - Tragedi Detik Itu

Mulai dari awal
                                    

Dia ikut mendorong brankar yang sudah ada seorang wanita paruh baya terbaring lemah di sana. Semua pasang mata menatap kagum ke arah lelaki tanggung jawab itu, seharusnya seorang kapten langsung duduk sambil beristirahat. Namun, Dylan malah membantu membawa penumpangnya yang menderita penyakit jantung itu menuju rumah sakit.

"Saya ikut ke rumah sakit, Dok!"

Ucapan lelaki itu dibalas anggukan kepala oleh dokter perempuan itu. Brankar dimasukkan ke ambulans, diikuti Dylan setelahnya.

Suara deru khas ambulans terdengar bersamaan ambulans yang mulai melaju keluar dari bandara. Ucapan-ucapan istimewa terlontar tanpa dipinta dari bibir-bibir orang-orang yang berada di bandara sana.

Angin memburu cepat di Pekanbaru yang merupakan tanah kelahiran seorang Dylan ini. Dia merindu keluarga yang kini sudah menghilang satu karena Allah lebih sayang kepada sosok lelaki tegar yang merupakan penyemangat hidupnya itu. Dalam benaknya, dia takut, takut kehilangan sesosok penyemangat untuk yang kedua kalinya.

Beberapa menit kemudian, ambulans berhenti tepat di halaman suatu rumah sakit. Brankar kembali dikeluarkan, disambut para dokter dari rumah sakit yang keluar. "Berikan pengamanan terbaik untuknya, Dok!" seru Dylan kemudian mendapat anggukan.

Brankar sudah terdorong untuk masuk ke suatu ruangan. Langkah lelaki itu memelan, dia masuk ke rumah sakit bernuansa putih itu hendak menuju ke suatu ruangan. Senyuman palsu terus ditampilkannya, memberikan tanda kepada orang-orang bahwa dia baik-baik saja.

Dia mencoba untuk #menikmati setiap sudut rumah sakit ini. Hingga ... pada detik pertama maniknya bersitatap dengan seorang perempuan berkerudung cokelat yang berdiri tidak jauh darinya. Sesaat, perempuan itu secepat mungkin berlari dan kemudian memeluk tubuh lelaki tersebut.

"Di mana bunda?"

Tangisan perempuan itu seketika pecah ketika Dylan mempertanyakan perihal itu.

***

Jakarta, 14 Januari 2016.

Suasana di Kepulauan Seribu saat ini sangat ramai. Terdapat TNI Angkatan Laut, polisi, dokter mau pun suster, dan tidak luput juga wartawan. Suara serak tangis terdengar ramai di kawasan infestigasi.

Petang kemarin, Indonesia dibuat gegar atas jatuhnya pesawat dengan tujuan Pekanbaru. Secara mendadak dan tiba-tiba, menurut kabar yang beredar di televisi mau pun media sosial, pesawat itu jatuh di laut Kepulauan Seribu setelah beberapa menit lepas landas dari bandara.

Dylan berlari cepat, menerobos orang-orang yang berada di hadapan, tidak memedulikan orang-orang yang menghalang lalu jalannya. Raut wajah itu pucat, saat hendak masuk ke kawasan kejadian, beberapa polisi menghadang, tetapi pemuda itu tetap dengan pendirian untuk masuk.

"Lepaskan saya!"

Dia berkata tegas dengan mata tajam, tidak peduli dengan siapa saat ini dia berhadapan.

"Sekali lagi saya tegaskan! Lepaskan saya dan berikan saya untuk masuk!"

Bapak Polisi itu saling pandang memandang, kemudian berkata lantang. "Tidak bisa, saat ini kondisi belum sep---" Ucapan salah seorang polisi itu terpotong kala Dylan sudah masuk terlebih dahulu, menerobos apa pun yang berada di hadapannya.

Beberapa dokter tampak membopong orang-orang dalam pakaian khusus berwarna orange, kemudian mengumpulkannya ke satu tempat dengan baris banjar. Melihat itu, Dylan langsung saja melangkah dan tanpa basa-basi langsung membuka satu per satu pakaian khusus itu hanya untuk mencari sosok sahabat yang ikut menjadi korban.

"Maaf, Mas! Tolong jangan semena-mena dengan pekerjaan kami!"

Satu dokter berperawakan tinggi menegur Dylan, lalu pemuda berambut hitam lebat itu mendongak menatap ke arahnya. "Shit!" Dylan berdecak kesal sambil beranjak dari jongkok.

Dua hari berlalu, sosok yang dicari tidak kunjung ditemukan oleh Timsar. Petang ini, pemuda itu kembali datang. Matanya menyipit ke arah beberapa dokter yang tampak membopong salah seorang korban, di sana juga terdapat seorang lelaki yang sepertinya Dylan mengenali sosok itu.

Setelah mereka hampir berada didekatnya, tungkai Dylan seolah kelu untuk melangkah ke sana. Namun, secepat mungkin dia mencoba untuk bisa.

"Umi wanita kuat, bertahanlah umi, bertahanlah!"

Lelaki berusia dua tahun lebih tua dari Dylan itu tampak menangis sejadi-jadinya sambil memegang wajah sang ibunda dengan mata tertutup rapat itu. Lebam, luka, terlihat di wajah wanita paruh baya yang dibopong di sana.

"Bunda? Astaga! Terus dia di mana, Kak? Di mana?!"

Hening.

"Jawab pertanyaan saya, Kak! Dia di mana?!"

Lelaki yang memakai kaos hitam itu menunduk lesu. Dia tetap bergeming. Hingga keadaan semakin riuh.  "Saya tanya sekali lagi, di mana dia berada, Kak? Jawab!"

"Dia masih belum ditemukan! Puas kamu, hah!"

Pada akhirnya lelaki itu menyahut dengan lantang, tangannya mengepal erat petanda emosi semakin menantang diri itu. Sedangkan Dylan langsung mematung dalam bisu, sorot matanya menatap sendu ke arah tanah.

"Kenapa diam, hah?! Puas kamu? Puas karena udah buat keluarga saya menderita?! Cukup, saya tidak ingin melihat wajahmu lagi! Permisi!" katanya hendak berlalu pergi, tetapi tangannya dicekal erat oleh Dylan.

Sadar akan hal itu, dia menoleh menatap ke arah tangan yang menghalangnya untuk pergi sekilas, lalu kembali menatap wajah pemuda yang saat ini ikut menatap ke arahnya.

"Tampar saya!" seru Dylan mengambil tangan kanan lelaki di hadapannya lalu menamparkannya ke pipi diri sendiri.

"Kenapa diam, Kak? Tampar saya sekarang!"

Sesaat keduanya bergeming, tidak ada yang berbicara, hingga ... plak!

Lelaki itu benar-benar mengikuti perintah Dylan, dia menampar pipi pemuda itu dengan kuat. Lalu, tangan mereka yang semula bertautan kini perlahan melepas.

"Sudah cukup?! Saya harap kamu mengerti keadaan saya saat ini!"

-To Be Continued-

GulaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang