Ego-1

31.9K 1.3K 3
                                    

Adhira mematut dirinya didepan cermin dengan tatapan bringas. Selalu, selalu saja begitu.

Rasanya Adhira tak ingin menatap pantulan dirinya sendiri dikaca. Ia merasa terpojok kan dengan penghakiman dirinya sendiri.

Ia merasa dirinya adalah sampah dan sampah.

Bahkan terkadang Adhira tanpa sadar menusuk tangannya sendiri dengan benda-beda kecil disekitarnya seperti pensil atau pena. Itu semua ia lakukan untuk membuat kepercayaan dirinya kembali karena-

Adhira menelan ludahnya ketika mengingat kejadian tiga hari yang lalu.

Oh ayolah, itu sudah tiga hari berlalu tapi Adhira semakin menggila dikamarnya. Ia bahkan tak berani berangkat kesekolah karena takut bertemu pemuda sialan itu disana.

"Dhira? Kamu didalam kan kak?"

Adhira menyembunyikan tangannya yang terdapat beberapa tancapan bekas pena.

"Iya ma" sahutnya.

"Mama boleh masuk nggak kak?"

Adhira memperbaiki tatanan rambut dan ekspresinya, ia harus terlihat baik-baik saja didepan ibunya itu.

"Boleh ma," katanya setelah siap.

Mira, mama sambung Adhira itu langsung masuk begitu mendapat jawaban dari anak sulungnya. Yah, Adhira memang bukan anak kandungnya, tapi ia lah yang membesarkan Adhira sejak gadis itu berusia dua tahun. Dan sebagai ibu, Mira merasa ada yang aneh dengan Adhira yang mengurung diri dikamar selama tiga hari penuh.

Itu bukan Adhira sekali, gadis bermulut pedas dan bertingkah angkuh itu tak pernah tampak sesedih ini. Bahkan dulu saat mengetahui fakta bahwa ia bukan anak kandung Mira saja Adhira tak separah ini.

"Kakak, kakak lagi ngapain?" tanya Mira lembut, ia membelai rambut Adhira penuh kasih sayang.

"Lagi nyisir rambut, habis mandi." Kata Adhira tersenyum.

Mira ikut tersenyum, "Kakak kenapa sih tiga hari ini ngurung dikamar? Masih marah sama Ayah yang marahin kakak semalam?"

Adhira mengernyit sebelum mengingat kejadian tiga hari yang lalu, begitu kejadian itu terjadi Adhira langsung pulang dan sialnya saat itu ayahnya yang menyadari ia pergi dari rumah tanpa pamit menungguinya sampai dini hari.

Adhira ingat sekali bagaimana ayahnya mengamuk. Sebenarnya yang membuat ia malas keluar dari kamar selain masalah nya adalah memang karena ayahnya. Ia dan ayahnya itu sama-sama berkepala batu. Jadi jika ada masalah jarang terselesaikan dengan baik pula.

Melihat Adhira yang diam, Mira pun melanjutkan, "Ayah kayak gitu karena sayang sama kakak, karena kakak itu satu-satu nya anak gadis Ayah."

Adhira merapat kan bibirnya, kalimat mamanya itu terngiang dikepalanya.

Karena kakak itu satu-satunya anak gadis ayah.

"Jadi wajar dong ayah semarah itu semalam, "

Adhira mengangguk ragu,

"Nah gitu dong, jadi uda gak marahan lagi kan sama ayah?"

Adhira diam saja, "Uda nggak dong, gitu harusnya jawabnya. Eh yaudah, sekarang turun kebawah yuk, Ayah, Devan, sama temen-temen kamu uda nungguin tuh dibawah."

"Hah temen? Windi, Intan, Febi?" tanya Adhira terkejut.

Mamanya tertawa sambil mengangguk, "makanya itu ayuk turun."

Adhira memejamkan matanya jengkel, ia sudah dapat membayangkan keributan dari ketiga temannya itu.

Dan benar saja, begitu Adhira menginjak tangga terakhir kehebohan ketiga temannya langsung menyambutnya.

"Yaelah akhirnya putri keraton turun juga," ujar Windi tak tau sopan santun.

"Stt, mulut lo" ujar Febi menjawil Windi.

"Ngapain sih lo pada kemari? Numpang makan kan lo pada" balas Adhira mendudukkan dirinya disebelah Devan, adiknya.

"Hust, kakak, temennya kemari bukannya seneng kok malah gitu sih." tegur Mira

Windi tersenyum pongah, "Tuh dengerin nyokap lo dhir,harusnya lo itu husnuzon sama kita-kita. Mulut lo itu ya pedes nya gak ilang-ilang."

Mira dan Deni, ayah Adhira hanya tersenyum saja, mereka sudah terbiasa dengan sifat ketiga teman putri sulung mereka.

"Halah, husnuzon sama kalian malah nambah dosa tau gak." Kata Adhira lagi.

Windi sudah akan kembali mencela namun urung karena Mira memotong ucapannya.

"Udah-udah, kita mau makan ini loh. Pamali ribut didepan makanan."

"Iya, makan dulu baru nanti ngobrolnya." Tambah Deni berdehem. Membuat ruang makan yang awalnya ribut menjadi senyap sampai selesai makan.

Begitu selesai makan, Intan yang merupakan satu-satunya teman Adhira yang paling pengertian itu membantu membereskan piring kotor bekas makan sedangkan Febi dan Windi mengikuti Adhira yang kekamar.

"Jadi gimana?" Tanya Windi begitu pintu kamar tertutup.

Adhira menaikkan alisnya, "Gimana apa nya?"

Windi berdehem, "Jangan lo pikir kita bodoh ya Dhir, lo ada masalah kan? Cerita dong sama kita?"

Kata Windi itu diangguki dengan kuat oleh Febi, "Iya Dhir cerita dong jangan ngurung diri dikamar gitu. Gak baik tau."

Adhira mengedikkan bahunya acuh, "Jangan sotoy deh."

"Ck, gue gak ngerti harus ngomong apalagi ma lo Dhir, lo ada masalah apa sih sebenernya."

"Gue gak ada masalah gue bilang, gue cuma salah paham sama bokap gue dong uda cuma itu."

"Lo pikir kita percaya? Sejak kapan bokap lo bisa buat lo segalau ini? Biasanya juga lo bahkan sanggup tengkar berminggu-minggu" bentak Windi marah, jangan lupakan sikeras kepala ini digeng mereka selain Adhira.

"Woy, ngapa deh teriak-teriak," Intan yang baru masuk kamar langsung menegur, " Kalau didenger om, tante kan gak enak."

"Temen lo ini." kata Winda mendudukkan dirinya diranjang Adhira. Sedangkan Adhira diam saja tak bersuara.

"Kita-kita diam aja, lo pikir kita gak peduli gitu? " kata Febi tiba-tiba.

"Masalah lo seberat apa sih sampai lo lukain tangan lo gitu?" kata Intan pelan.

Adhira makin membisu, ia gak sanggup untuk mengatakan sepatah kata pun.

-

Thank you for reading, please vote and comment.

Atmosfera.

Ego (selesai)Where stories live. Discover now