2

7 4 0
                                    

Emily keluar ruangan dosen dengan lesu, sejak pagi buta dia mengerjakan banyak catatan, penelitian bahkan sampai lupa sarapan. Asisten dosen memang terkenal sibuk, lebih sibuk dari mahasiswa lain. Tentu saja mereka tidak bekerja secara gratis. Uang upah menunggu, walau tidak terlalu besar.

Emily berniat mencari makan keluar daerah kampus. Ia merasa bosan makan di kampus sendirian. Teman-temannya yang lain masih ada kelas dan kelasnya berseberangan dengan kantin. Tak enak rasanya pergi ke kantin lebih dulu dari mereka.

Ia memesan ojek online dan segera menuju resto makanan siap saji. Sesampainya disana, nampak deretan barisan sampai di luar resto. Maklumlah, jam makan siang pasti selalu ramai. Sepertinya tidak apa-apa jika kembali agak lama, toh pekerjaannya sudah banyak yang selesai.

Ia pun memesan makanan cepat saji itu, tak butuh waktu lama nampan berisi makanan lezat itu sampai ditangannya. Namun, tempat duduk di resto sudah penuh. Ia lantas bertanya pada pegawai disana apakah ada kursi kosong. Pegawai itu celingukan dan mengangguk, lalu mengantarkan gadis berhijab coklat itu ke arah tempat yang kosong. "Maaf kak, hanya ada meja ini. Meja yang lain sudah terlebih dulu di booking kak."

"Oh, iya... Tidak apa-apa kok." Emily berucap santai. Pegawai itu menunduk dan pergi untuk melayani pembeli lain.

"Loh, Emily?"

Suara itu ternyata berasal dari bangku depannya. Gadis itu terkejut, "Eh, Ruka?"

Lelaki yang ia panggil Ruka itu mengenakan topi dan juga jaket, pantas ia tidak bisa mengenalinya. Mereka berdua juga tidak menyangka akan bertemu kembali.

"Cepat juga ya kita bertemu lagi," ucap Ruka sambil menggigit burger pesanannya. Emily mengangguk, senyum Ruka benar-benar manis baginya. "Jadi gimana topik skripsi kamu? Sudah ketemu?"

"Wah, kok kamu tau? Saya bahkan belum cerita apa-apa," ucap Ruka kagum. Tawa Emily menghangatkan suasana yang ramai disana. "Aku menebak saja, tapi ternyata benar. Dilihat dari buku-buku yang kamu pinjam kemarin. Kalau tidak untuk skripsi, lalu untuk apalagi?"

"Hahahah, intuisimu bagus juga," kata Ruka. Emily lantas meneguk minuman dingin itu dengan canggung. Ia masih merasa malu berhadapan dengan Ruka saat makan. Ruka yang langsung peka mencoba rileks padahal jantungnya berdegup tidak karuan. "Sudah Emily, makan saja jangan sungkan. Anggap saya tidak ada kalau kamu mau."

Emily menggeleng, "Maaf sudah mengganggu makan siangmu. Kalau ada kursi kosong aku akan pindah kok." Dengan mulut yang masih mengunyah daging dan roti itu Ruka nyerocos, "Cepat makan atau mau saya suapi?"

Wajah Emily merah padam mendengarnya. Ia jadi grasak-grusuk sendiri saat akan makan. Dilihatnya Ruka yang tertawa setelah mengatakan itu, membuat jantungnya berpacu seperti sedang lari marathon. Keduanya pun makan hingga tandas.

Karena duduk di dekat dinding kaca, kehidupan di luar nampak jelas terlihat.

Awan-awan gelap perlahan berkumpul. Mengahalangi cahaya matahari yang seharusnya memancar dengan terik. Anak kecil jalanan berlari-lari setelah turun mengamen dari sebuah bus. Para pemotor yang menyalip mobil tua yang tiba-tiba mogok. Emily merasa bersyukur akan kehidupannya yang serba cukup sekarang ini.

"Selalu bersyukur menerima apapun, maka Allah akan memberi kita lebih. Anak-anak itu mungkin terlihat lebih bahagia dari kita yang berkecukupan. Karena rasa syukur mereka lebih dari kita," celetuk Ruka yang secara diam-diam mengamati Emily memandang ke luar dengan penuh empati.

Lagi dan lagi, Emily terpana mendengar perkataan Ruka. Ia balas mengangguk dan melirik jam tangannya.

"Setelah ini mau kemana?" tanya Ruka sembari menyeruput float cappucino kesukaannya. Emily mendongak, "Mungkin aku akan kembali ke kampus. Menyelesaikan beberapa pekerjaan dan pulang. Kenapa Ruka?"

"Ahaha, tidak apa-apa. Aku cuma bertanya," ujarnya dengan senyum pahit.

"Sepertinya kamu punya masalah, mau bercerita?" Emily memandang Ruka penuh arti. Walau baru bertemu dua kali, Ruka memberikan kesan yang kuat pada Emily. Jadi setidaknya ia ingin membalas Ruka walaupun hanya dengan hal kecil.

Ruka menghembuskan napas. Bagaimana Emily tau? Padahal ia sudah menyembunyikan kesedihan itu. Namun ternyata Emily melihat celahnya, "Orang tuaku di luar kota, sedang sakit. Sebenarnya aku rindu mereka dan ingin segera pulang. Tapi aku belum siap membawa calon menantu mereka. Dan kata mereka, obat agar mereka sembuh adalah calonku nanti. Aku bahkan belum mendapatkan seseorang disini. Ha-ah... ."

Entah kenapa Emily merasa sesak saat Ruka berkata 'calonku'. Emily segera menepis rasa sesak itu dan memikirkan solusi untuk Ruka. Ruka terlihat frustasi karena hal ini.

"Ruka, kamu katakan apa adanya saja pada mereka. Toh, jodoh bukan siapa cepat dia dapat. Yakinkan saja mereka kalau waktunya tepat, dia pasti datang."

Ruka tertegun mendengar kalimat Emily. Senyumnya yang manis itu terukir dengan jelas di hadapan Emily, sampai membuat wajahnya jadi merona. "Ah, itu sih menurut buku yang aku baca kemarin. Sumbernya jelas kok. Kamu tidak usah khawatir kalau aku membual."

Ruka mengangguk-angguk, "Iya, terima kasih sarannya, Emily."

Emily ikut tersenyum. Pertemuan kedua yang menyenangkan bagi mereka. Masing-masing berdoa agar Tuhan mempertemukan mereka lagi, supaya lebih mengenal satu sama lain dan memantapkan hati mereka. Sungguh, Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

***

♪  ♪  ♪

Emily's POV

Setelah pertemuan kedua itu, aku berkunjung ke perpustakaan itu lagi. Berharap bertemu seseorang yang diam-diam aku sebut dalam doa. Aku bersenandung ria, membayangkan sesuatu yang membuat hatiku berdebar.

Namun saat aku memasuki ruangan, yang ku lihat malah sesuatu yang menyesakkan.  Tubuhku seketika mematung selama beberapa detik. Perasaan yang tadinya berbunga-bunga, sekarang seperti kaca yang dihancurkan dengan kekuatan yang sangat besar.

"Ruka... ."

Ku lihat wajahnya yang tampak serius berbicara dengan seorang perempuan. Perempuan bercadar, yang menutup auratnya dengan sempurna. Yang bahkan malu menampakkan senyum mereka pada orang lain.

Tak sepertiku, yang pernah berada di jalan yang salah. Wanita itu pasti nampak sempurna di mata Ruka. Ruka pasti juga butuh seseorang yang mampu melengkapi imannya.

Apakah wanita itu yang akan dipilih Ruka sebagai 'calonnya'? Yang akan terus melihat senyum Ruka yang menawan?

Ugh, hatiku sakit membayangkan hal itu. Aku merasa seperti disayat dengan ribuan pisau.

Ah, aku memang tidak pantas jika disandingkan dengan Ruka. Setidaknya aku harus tahu diri karena ini. Aku bukan siapa-siapa di kehidupan Ruka. Kami bahkan baru bertemu sekali.

"Malangnya nasibku... ."

Aku bergumam sambil mengamatinya dari jauh. Mataku perih, jika saja aku bisa langsung berada di tempat yang sepi, aku akan menangis sekencang-kencangnya.

Aku memutuskan berbalik arah, menyeka setetes bulir bening yang tak kuasa tertahan di ujung mata.

Aku... bagaimanapun juga, aku akan tetap percaya pada kehendak-Nya.

3 TIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang