“Dia sudah tidur. Nyenyak sekali. Aku yakin dia pasti bangun siang. Besok Minggu.”

Aku mengangguk pelan. Kapan lagi bisa jalan-jalan malam begini? Seumur-umur aku memang tidak pernah keluyuran apalagi saat tengah malam. Ibu selalu mengungkung kebebasanku, hingga saat dewasa pun aku jadi malas untuk bergaul karena terbiasa diam di rumah.

Mas Wisnu bergegas untuk mengambil jaket, kemudian mengeluarkan motornya dari garasi. Pelan, dia menuntun motor hingga kami telah berada sekitar 30 meter dari rumah. Alasannya agar suara mesin tidak membangunkan orang rumah.

“Pegangan ya, Dek.” Mas Wisnu memberikan instruksi.

Aku mendekat, duduk di atas motor sembari memegang tepi saku jaketnya.

“Mas, kenapa harus mengajakku jalan-jalan tengah malam begini?”

“Aku pengen makan gudeg, Dek. Tapi malas kalau sendiri. Melani mana mau nemenin.” Mas Wisnu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Udara malam begitu dingin menusuk hingga tak sadar aku telah memeluk tubuh Mas Wisnu. Rasanya hangat, nyaman. Aku tak kuasa menempelkan kepala ke punggung bidangnya. Mbak Mel, mengapa suami sebaik dan segagah ini kau sia-siakan bagai kucing peliharaan yang sudah bosan kau maini? Apakah dia tak seberharga itu?

“Kamu ngantuk, ya Dek?” Suara Mas Wisnu samar kudengar, bercampur dengan deru angin.

“Sedikit!” Teriakku karena takut tak terdengar.

“Maaf, ya.” Seketika pipiku yang sedari tadi tertampar angin, merasa hangat saat mendengar ucapan lembut Mas Wisnu. Dia begitu peduli denganku.

Aku tersenyum. Sepanjang jalan kunikmati dengan hati yang penuh dengan bunga. Beginikah jatuh cinta? Apakah cinta semabuk ini?

***

Di malam yang dingin dan berkabut, sekumpulan orang duduk lesehan di trotoar jalanan dengan dialasi tikar anyaman. Orang-orang duduk sambil menikmati sepiring gudeg dan segelas teh manis hangat sembari berbincang-bincang.

Aku memperhatikan sekelilingku dengan tatapan gumun. Penuh keheranan. Apa yang dilakukan mereka ini? Tengah malam, makan di luar, ramai pula. Apa tidak dicari oleh sanak keluarga?

“Pernah ke sini sebelumnya, Dek?” Mas Wisnu bertanya padaku. Lelaki putih beraroma parfum yang maskulin itu merapatkan jaketnya. Sesekali dua tangan berbulu halus itu saling menggosok di depan dadanya.

“Baru sekali ini.” Aku menyeruput teh hangat yang baru saja diantarkan oleh pelayan.

“Gudeg di sini paling enak, lho. Menurutku, sih. Makanya banyak yang beli. Padahal bukanya tengah malam. Kamu suka gudeg kan?” Mas Wisnu semakin duduk mendekat ke arahku. Kini jarak kami berdua hanya dua puluh senti.

“Suka.” Aku memperhatikan ke arah lain. Ke arah seberang sana, di mana kendaraan parkir rapi. Masih saja aku gugup saat harus dekat dengan Mas Wisnu.

“Dek Ayu, kamu itu cantik. Kenapa belum punya pacar?”

Aku tercekat. Menelan liur. Haruskah Mas Wisnu menanyakan hal yang dia sendiri pun sebenarnya tahu?

“Mana ada yang mau denganku, Mas? Jarang keluar rumah, tidak punya banyak teman, apalagi pekerjaanku yang serabutan ini. Ingat, aku Cuma lulusan D-3. Tidak seperti Mbak Mel.” Jengkel aku menjawabnya. Sisi sensitif di diriku disentuh oleh Mas Wisnu. Aku paling benci jika ditanya masalah pasangan dan pekerjaan.

“Kurasa bukan itu masalahnya, Dek. Kamu Cuma kurang membuka diri saja. Ayolah, sebaiknya kamu lebih banyak bergaul lagi. Jangan terlalu memikirkan urusan rumah tangga. Jangan mau selalu diperintah-perintah Ibu dan Mbak Mel.”

Maaf Kurebut Suamimu, MbakOnde histórias criam vida. Descubra agora