Pada dasarnya, kebiasaan lama memang susah dihilangkan.

Tepat satu bulan setelah berpacaran dengan Shanon, Saujeno kembali merasa bosan.

Akhir-akhir ini ia jadi sering uring-uringan karena entah mengapa rasanya berpacaran dengan Shanon lebih rumit daripada mantan-mantannya terdahulu, apalagi sikapnya setelah mereka bertengkar hari itu. Rasanya beda sekali—terutama jika dibandingkan dengan waktu berpacaran dengan Senandika.

Karena bersama Shanon, rasanya pertengkaran kecil pun bisa jadi besar, contohnya seperti kemarin. Duh, kalau ingat, Saujeno jadi kesal sendiri. Beda dengan Senandika—yang bahkan tak pernah sekalipun ambil hati soal masalah-masalah yang Saujeno ciptakan karena sebetulnya masalah-masalah tersebut memang sifatnya kekanak-kanakan.

"Murung amat? Lo udah dapat Elizabeth, udah macarin cewek bule, kok tetep murung? Kenapa?"

Sore ini, ia mampir ke kediaman Bayu. Sekedar cerita mengenai keluh kesah yang menyerempet dikit soal perasaan, sementara sisanya ia pendam. Alasannya, ya karena isi kepalanya saat ini kebanyakan Senandika.

Saujeno menghela napasnya bingung. Ia sendiri heran. Kenapa pula ia kepikiran Senandika terus menerus sejak satu minggu setelah ia memutuskannya dengan begitu kurang ajarnya.

Rasanya begitu beda. Berpacaran dengan Senandika rasanya ringan seperti di atas awan. Anak itu tidak banyak menuntut. Ia mandiri dan pekerja keras. Selama dua bulan—rekor terlama Saujeno berpacaran—bersama Senandika, rasanya sama sekali tidak ada yang berat.

Ia tidak melarang-larangnya balapan, karena Senandika tau bahwa itu adalah hal kesukaannya.

Senandika tidak menuntutnya ini itu. Tidak menuntutnya untuk membagi waktu hanya untuk sekedar memanjakannya atau memberinya perhatian. Senandika selalu bersikap dewasa. Jika salah ia akan meminta maaf dan berterima kasih setelahnya. Sikap dan tutur katanya sopan dan lembut untuk pemuda seusianya.

Terkadang, banyak sifat Senandika yang tak pernah ada hentinya membuat Saujeno terkagum-kagum. Membuatnya salut pada pemuda mandiri yang menyimpan banyak hal sendiri itu.

Jadi, kenapa?

Kenapa Saujeno mendadak kepikiran Senandika? Apa ia... rindu?

Ia mendadak merasa jadi orang bodoh sekarang.

Senandika jelas tidak sebanding dengan apa yang ia dapatkan sekarang. Senandika adalah nomor satu, yang bernilai lebih dari barang apapun yang Saujeno miliki.

Aduh, otakmu aja setengki, Saujeno. Gak salah Danar ngatain kamu adik bodoh.

"Senandika ya?"

Saujeno sontak menengok menghadap Bayu yang sedang menatapnya juga.

"Bukan, Bay. Ini soal Shanon."

Saujeno beralasan, berusaha menyembunyikan sorot matanya yang akan membuatnya mudah ditebak.

"Kenapa?"

"Cewek emang gitu ya? Minta dingertiin terus. Gue tanya kenapa jawabnya 'gak tau' atau 'pikir aja sendiri'. Ya gue 'kan bukan cenayang! Gak habis pikir. Dia yang paling ribet. Ini itu harus diturutin, kalo gak, ngambek kayak anak kecil."

"Lo keliatan less happy sama Shanon daripada pas pacaran sama Senandika dulu." Bayu berpendapat sembari membukakan kaleng soda untuk Saujeno minum. Mereka tengah mengobrol di kamar Bayu saat ini.

"Iya?" Saujeno balik bertanya penasaran. Iyakah ia kelihatan lebih bahagia waktu bersama Senandika?

"Sepenglihatan gue sih iya," Bayu mengedikkan bahunya setengah acuh. "Waktu itu 'kan, kalo gue ngajak lo main, lo lagi di rumah Dika. Diajak nongkrong, ternyata udah nongkrong duluan sama Dika." Bayu terkekeh, menjeda sebentar, menyeruput soda di tangan. "Jujur, Saujeno. Lo mulai bosen 'kan sama Shanon?"

Senandika - [nomin]On viuen les histories. Descobreix ara