26. pengakuan terdalam

134 27 2
                                    

Pegang Tanganku milik Nosstress mengalun pelan lewat speaker portabel di atas nakas kasur.

Kedua penghuni kamar tersebut—Saujeno dan Senandika—tengah berbaring bersisian di atas kasur, dengan tangan Saujeno yang menjadi bantalan kepala Senandika dan Senandika yang kian merapatkan tubuhnya pada Saujeno; mencari kehangatan.

Oh indahnya menjalani
Denganmu
Oh nikmatnya bersamamu

"Mau periksa ke dokter?"

Senandika menggeleng kecil, pandangannya lurus ke langit-langit kamar, lalu napasnya terhela pelan sebelum seulas senyum terkembang di wajah manisnya yang nampak menggembil pipinya.

Tapi kita harus mulai mengerti
Tapi kita harus mulai batasi
Karena...

"Saujeno."

"Ya?"

"Kamu maunya... laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki atau perempuan, aku gak masalah. Yang penting nanti kamu dan adik bayi senantiasa selamat dan sehat. Oke?"

Senandika tersenyum mendengar jawaban Saujeno yang begitu lugas juga tegas. Senyumnya terkembang, hatinya dirambati rasa hangat.

"Makasih..." ucapnya, hampir berbisik.

"Iya, Sayang. Sama-sama."

Indah itu tak selalu ada
Senang itu sementara
Jika senang jangan terlalu
Jika sedih jangan terlalu

Keduanya saling memandang, Saujeno tersenyum tipis memerhatikan sapuan kelopak mata Senandika yang setengah tertutup. Ia nampak mengantuk.

"Gimana kerjaanmu?" Pemuda yang lebih mungil bertanya setelah terdapat jeda, sedikit bergeser menjauh dari sang kekasih.

"Mas Yuta sekarang nyediain panggung kecil gitu di pojok café semenjak dia tau aku bisa main gitar. Cafe jadi tambah ramai, sampai kayaknya terpaksa Mas Yuta harus buka cafe di ruko yang lebih luas, haha."

Senandika balas tersenyum ketika mendongak dan mendapati Saujeno yang tengah tertawa. Tangannya ia bawa untuk mengusap pipi sang kekasih, lalu dikecup lembut pipinya.

"Aku punya pertanyaan."

"Silakan."

Satu yang Senandika suka dari Saujeno, pemuda itu selalu mendengarkan apapun yang hendak ia tanyakan atau utarakan. Matanya akan terus menatapinya sepanjang cerita, mengikuti gerak-gerik bibir dan gestur tubuhnya, lalu merespon dengan sama semangatnya.

Dua yang Senandika suka dari Saujeno, ia tak pernah mengeluh karena harus susah demi dirinya. Ia memegang teguh janjinya dan bersungguh-sungguh menjalaninya.

"Apa kamu pernah merasa enggan karena bakal susah harus hidup ngurus aku?"

"Gak pernah."

Belum ada satu detik pertanyaan dilayangkan, Saujeno langsung dengan yakin menjawab, buat Senandika kembali mendongak menatap kekasihnya itu.

"Kenapa?"

"Karena kalian kini bagian dari hidupku, Nana. Kamu dan adik bayi. Aku udah janji untuk bertanggung jawab dan gak akan abai terhadap kalian. Seperti yang udah kamu bilang, kita gak bisa melakukan apapun lagi selain menghadapi. Seenggaknya, aku kini bareng sama orang yang aku sayang. Susah gak selamanya ada. Kalau kita mau berusaha, pasti bisa."

"Kamu udah dewasa ya, Saujeno."

"Kamu yang mendewasakan aku, Na. Asal kamu tau, pacaran sama kamu itu pacaran terlamaku. Waktu itu, gak pernah sekalipun aku mikir alasannya aku bisa nyaman sama kamu. Memang dasarnya aku bodoh, malah ngecewain kamu demi egoku sendiri. Setelahnya, aku nyesel. Kenapa dulu aku ngecewain kamu, padahal kamu lebih berharga dari apapun. Aku minta maaf sekali lagi dan aku janji untuk kedepannya gak akan terjadi hal yang sama lagi. Aku janji."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang