Twins

5 1 0
                                    

Rania lagi-lagi harus lembur di kantornya dengan pekerjaan yang rasanya mustahil untuk menghilang dari atas mejanya. Pukul sembilan malam masih berkutat di depan layar komputer ditemani segelas kopi yang tidak ada untungnya juga untuk lambung seorang penderita mag akut. 

Satu panggilan masuk di layar ponselnya. Sania, kembarannya. "Ran, kamu di mana?" Kakaknya itu bertanya dengan nada khawatir. "Kenapa belum pulang?" lalu suara batuk terdengar, rasanya sudah lama sekali kakaknya itu mengalami batuk yang tidak pernah berhenti.

Mungkin memang benar adanya mengenai seseorang yang terlahir kembar memiliki firasat atau ikatan batin yang sangat kuat.

Rania seminggu terakhir ini memang merasa lelah dan terlihat dari kondisi fisiknya yang semakin hari semakin kurang sehat. Kantung mata yang menghitam, pipi yang semakin tirus, serta lambung yang tidak jarang memberikan lilitan yang begitu erat dalam dirinya.

"Dikit lagi, Kak. Habis ini kelar, kok." Balas Rania sambil mengapit ponselnya di antara bahu dan telinganya.

"Segera pulang ya, Dek. Hati-hati kalau pulang." Ucap satu-satunya saudara kandung yang selalu mengerti dirinya.

Akhir bulan menjelang awal bulan pada setiap perusahaan bagian keuangan adalah sebuah bencana besar. Apalagi kalau sudah akhir tahun. Tidak satu atau dua pegawai saja yang lembur kerja. Rania dan beberapa staf lain tidak dapat mengelak perintah dari atasan mereka.

"Di, aku pulang duluan, ya." Pamit Rania sambil merapikan beberapa barang di atas mejanya dan segera keluar dari ruang tersebut.

"Oke, Ran. Hati-hati." Balas perempuan yang tengah hamil muda. 

Rania mengangguk, "Kamu dijemput, kan?" Didi tersenyum ke arahnya, "Kalau udahan, langsung balik. Jangan dipaksain, Bun." Lanjut Rania sambil tertawa geli.

Rania sampai di rumah bersama motor bebek yang ia kendarai setiap hari. "Rania pulang." Ucapnya saat membuka pintu rumah sambil melepaskan sepatu dan meletakkannya di atas rak sepatu.

Terlihat Ayahnya tertidur di atas sofa ruang tengah, sepertinya beliau tengah menunggu anak bungsunya pulang dari kerja. Rania berjalan ke dalam kamarkemudian mengambil selimut miliknya dan segera menyelimuti pria berusia 54 tahun itu.

Segera ia mengarahkan kedua kakinya untuk berjalan ke kamar kakaknya. Kak, udah makan?" Tanya Rania yang dijawab dengan gelengan kepala dari Sania.

Keduanya membutuskan untuk merebus mi di dapur dan menghabiskan waktu dengan saling bercerita mengenai kegiatan sehar-hari. Semenjak lulus dari bangku kuliah dan mendapatkan pekerjaan, keduanya jarang sekali untuk menghabiskan waktu bersama.

"Capek nggak, Ran?" Tanya Sania sambil meniup mi kuah soto miliknya.

Rania mengangguk ditengah kunyahan mi kuah bakso dalam mulutnya, "Kenapa?"

Sania menghentikan suapannya, "Aku pengen resign aja, rasanya." Kedua bahunya merosot, punggungnya disandarkan pada kursi.

"Alasannya?" Tanya Rania yang tengah menghadap ke arah kakaknya.

Sania menceritakan beberapa kegelisahan yang ia rasakan serta kondisi fisiknya yang semakin hari semakin memburuk.

"Kamu tau, kan, aku sering banget batuk," Rania mengangguk mendengarnya. "Tadi, waktu di kamar sepulang kerja. Aku batuk berdarah sama mimisan."

Jantung Rania rasanya berhenti beberapa detik yang lalu saat mendengar pernyataan dari kakaknya. "Serius, Kak?" Sania mengangguk.

Lagi-lagi karena terlalu lama bekerja, keduanya hampir tidak mengerti bagaimana perasaan dan kondisi satu sama lain. Rania dan Sania saling terdiam di bawah sinar lampu dapur.

What Woman Wants [✔️] Where stories live. Discover now