Bab 10 - Diambang Perjuangan

39 12 1
                                    


10. Diambang Perjuangan

"Zaara!"

Suara tegas Yusuf kembali mengerang. Zaara tak peduli, dengan teguk tangisnya dia terus berkata lantang. Seolah bukan lagi tentang siapa yang salah siapa yang tidak, tetapi tentang kemarahan yang semakin memperkeruh keadaan.

"Clara juga masih sekolah, dia masih memerlukan tugas kelompok untuk menambah wawasan. Ini semua salah Zaara, Bi! Hukum aja Zaara, hukum Bi! Tapi ... Zaara mohon, jangan salahkan Abang Adhan dan Clara, mereka sama sekali nggak salah!" seru gadis tersebut sambil #bertekuk lutut di bawah kaki sang ayah.

Sudah hampir cukup lama keributan tidak menggema di rumah ini. Seperti semuanya baik-baik saja dan terus berjalan mulus bagai laksana kerajaan tanpa permasalahan yakni damai dan tentram.

Buliran bening mengalir tanpa dipinta di pipi putih Hamdhan. Hatinya hancur mendengar perkataan adik polosnya itu. Rasa bersalah terus saja menggetarkan diri itu, dia merasa semua perjuangan yang selama ini dia lakukan hanya sia-sia, dia merasa sebagai seorang kakak dia telah gagal menjaga adik serta ibundanya.

Perlahan dia melangkah maju, berjongkok memegang bahu Zaara yang saat ini bergetar petanda tangisannya kian menjadi-jadi.

"Zaara, sudah Dek, sudah. Ini semua salah abang. Sebagai abang dan anak laki-laki seharusnya abang yang menjaga kalian dan juga umi. Buat pekerjaan abang, bukan salah pekerjaan, tetapi salah abang yang sudah mengambil bidang itu. Salah melangkah dan pada akhirnya berakhir sia-sia, ah sudahlah!" kata lelaki berbadan tangguh itu.

Sorak teriak dalam hati Zaara terus menggema. Dia terus menuntut dirinya yang malang itu sebagai tokoh yang bersalah dalam masalah ini. Dia tak mengubris perkataan sang kakak, dia tetap bersujud di ujung kaki lelaki paruh baya yang saat ini sedang menatap iba ke arahnya.

"Cukup! Ini sudah takdir! Kehidupan tak mungkin terus berjalan mulus, pasti ada batu yang berperan sebagai tokoh antagonis di sini. Cla-Clara mohon sama Abi ... tolong maafkan kita karena lalai sama tugas yang Abi berikan, peluk kita, mari kita menengadahkan tangan bersama berucap pinta kepada Allah Sang Maha Kuasa."

Perkataan Clara membuat sang Abi meneteskan air mata dalam sekejap. Dia beristigfar sambil mengatur deru napasnya yang tersengal-sengal. Sedetik kemudian, dia berjongkok, menatap manik jernih milik Zaara yang semakin memerah akibat tangisnya.

"Kamu nggak salah," ujar Yusuf membantu perempuan berkerudung itu untuk bangkit berdiri.

Setelahnya, lelaki paruh baya itu menatap ke arah sosok Hamdhan yang saat ini memalingkan wajahnya ke sembarang. Dia menggapai tangan kanan anak pertamanya, lantas memeluk sambil menepuk pelan pundaknya.

"Maafin abi."

***

Lelaki berjaket hitam itu berlari cepat menuju lift, kemudian masuk dan memencet nomor satu. Keringatnya terlihat di dahi, menampilkan raut wajah yang seperti ketakutan. Sedikit dia menoleh ke arah sosok wanita lansia yang sedang berada di sampingnya dengan kursi roda.

Wanita berkalung salib itu terbatuk-batuk sambil memegang tengkuknya yang terasa gatal. Tanpa berbicara, Dylan langsung menyodorkan sebotol mineral yang belum diminum kepada nenek tersebut. Lantas, nenek itu menatap sesaat wajah lelaki yang saat ini sedang tersenyum tulus itu.

Tangan wanita lansia itu kemudian mengambil sebotol mineral yang disodorkan Dylan itu. Lalu nenek tersebut berucap ibarat doa. "Te-terima kasih, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungimu serta memberkatimu," katanya dibalas anggukan kepala oleh sosok lelaki manis itu.

Seketika pintu lift terbuka, perlahan satu per satu orang yang berada di dalam lift tersebut keluar. Nenek yang duduk di kursi roda itu tampak ingin keluar dan berhenti di lantai dua ini. Namun, dia seperti kesusahan saat sudah berada di ambang pintu lift tersebut.

"Biar saya bantu, Nek."

Dylan langsung saja memegang pegangan kursi roda sambil mendorongnya sedikit maju. Lantas, nenek tersebut pun berhasil keluar dari lift ini. Dia tersenyum sambil menautkan kedua telapak tangannya seperti sedang berterima kasih. Setelah Dylan mengangguk, pintu lift ini kemudian tertutup kembali.

Pikiran lelaki itu penuh, seolah semua harus dia lakukan dalam satu waktu. Terhimpit dan terkunci di titik tengah masalah-masalah yang berdatangan. Tangan itu bergerak menjambak frustrasi rambutnya yang lebat. Tertinggal seorang diri di dalam lift ini membuatnya bebas melakukan apa saja.

Hati itu tercabik-cabik ketika mendengar telepon dari seseorang petang tadi. Semangatnya sekarat, bibirnya kelu untuk berucap, napasnya tersengal-sengal seolah waktu berhenti berputar. Sebagai manusia biasa, rasa lelah adalah hal biasa.

"Mas Dylan, Bun-Bunda ... Bunda ambruk lagi. Dokter bilang Bun-Bunda harus mendapat penanganan yang lebih luas serta fas-fasilitas yang lebih banyak. Ay-ayo Mas. Ayo kita bawa bunda ke Jakarta buat berobat di sana! Ayo Mas ayo!"

Bagaikan bunga yang dipetik kemudian layu. Dunia bukan tempat bersenang-senang, melainkan tempat lelahnya bagi manusia.

Ketika pintu lift terbuka, secepat mungkin Dylan keluar dari sana dan menyetop taksi ketika berada di halaman apartemen. Malam yang gelap ini menjadi kegelisahannya yang tak reda.

Beberapa menit kemudian, taksi pun berhenti di bandara Ibukota Jakarta. Setelah memberi ongkos kepada bapak sopir dia pun dengan segera berlari menuju ke suatu kerumunan berpakaian pilot. "Maaf saya terlambat!" seru Dylan dengan tubuh tegapnya.

Semua pasang mata menatap ke arahnya, mereka seperti merasa ada yang beda dan tidak seperti biasanya dari sosok lelaki ini.

"Kapten ikut terbang malam ini? Mengapa mendadak sekali Kapt?"

Pertanyaan itu terlontar dari bibir lelaki seusianya yang bernama lengkap Dimas Prayoga Bumantara, sahabat yang sudah setahun bersamanya. Mendengar pertanyaan itu, Dylan langsung saja menggelengkan kepala.

"Tidak terjadi apa-apa."

Dia berucap singkat, jelas, dan padat tidak seperti sediakala. "Kapten Dylan ikut terbang malam ini. Dia sudah menelepon saya tadi petang," ucap lelaki paruh baya yang merupakan senior pembimbing Dylan yang selalu saja dibuat bangga terhadap lelaki itu.

Semua hanya mengangguk paham.

"Pesawat sedang mengisi ulang bahan bakar!" teriak seseorang yang berada tidak jauh dari tempat berparkir pesawat berada.

Dua lelaki yang saat ini sedang berhadapan itu menoleh sekilas ke arah sumber teriakan itu. Setelahnya, mereka saling tatap menatap. "Kamu ada masalah?" Dimas membuka suara dengan tanda tanya.

"Nggak. Oh iya penerbangan kita malam ini jam berapa?" Dylan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya padahal dia sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya itu.

Dialah Dylan. Sosok lelaki yang ketika dihadang masalah enggan bercerita, enggan memperlihatkan beragam masalahnya kepada orang-orang. Baik orang yang tidak dikenali, bahkan sahabat serta kerabat keluarga. Kebiasaan yang tertoreh sejak kecil itu berakhir hingga dewasa.

"Jam delapan," sahut Dimas kemudian.

Dia mengangguk lantas pergi begitu saja tanpa berucap sepatah kata pun. Menampilkan wajah seperti tidak terjadi apa-apa itulah Dylan.

Bersambung.
Mau next kapan lagi?

GulaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang