"tadi mepet banget waktunya di proyek, jadi gak sempet makan" sahut Andra sambil berusaha menghabiskan sisa 5 tusuk sate lagi di piringnya. Sepertinya dia benar – benar emosi, dan mulai kewalahan menghabiskan 30 tusuk sate. Tapi dia merasa lelahnya berkurang karena usapan lembut tangan Nania di sisi kepalanya. Sambil sesekali Nania memainkan rambut ikal Andra yang mulai sedikit gondrong. "gondrong ih" ucapnya pelan, seperti menggumam untuk dirinya sendiri, tapi terdengar Andra. Pria itu tersenyum dan menangkap sinyal, istrinya ingin dia bercukur rapih.

"kan mas biasanya bukannya suka makan bareng anak – anak proyek? Emang gak ada warung makan dekat situ?" tanya Nania heran. Karena setahu Nania, suaminya tidak pernah sungkan untuk nongkrong bareng para pekerja proyek, dan memakan nasi bungkus yang sama dengan mereka. dia pernah melihatnya sendiri, waktu Andra merenovasi rumah papa di Bandung.

"hari ini lagi gak sempet, buru – buru" hanya itu jawaban Andra, karena percuma menceritakan kronologis Fira yang merajuk minta pulang dan makan di mall sebelah kantor saja, ketimbang harus duduk bareng makan nasi bungkus bersama para pekerja proyek.

Nania meletakan piringnya yang sudah kosong di dashboard, dan turun dari mobil. Dia ingin ke minimarket yang ada didekat situ. Dia masuk kedalam mini market dan membeli beberapa bungkus roti isi berbagai rasa. Lalu dia kembali kedalam mobil. Andra bingung melihat roti isi yang lumayan banyak itu.

"besok masih nengok proyek kan? ini dibawa ya, kalau gak sempat makan, paling gak bisa ganjel ini. Jangan gak makan sampai malam. Mas kan orangnya laperan, mana bisa skip makan gitu" ucap Nania sambil meletakan plastik mini market itu di kursi belakang.

Otomatis senyuman Andra mengembang, menguap sudah kesal dan marahnya pada istrinya tadi. Dan Nania merutuki dirinya sendiri, kenapa dia begitu lemah pada Andra?

Kenapa dia tidak bisa benar – benar marah dan menuntut jawaban yang jelas pada Andra? sampai kapan seperti ini? dia juga ingin cintanya berbalas.

"lukanya tadi diobatin siapa?" tanya Nania penasaran, sambil menguji nyali untuk mendengar jawaban suaminya yang mungkin akan menyakitkan. "Dimas, untung ada P3K lengkap di bedeng. Kebeset aja sih, cuma perih aja"

Nania menatap dan mengusap lembut tepi plester itu "nanti dirumah aku obatin lagi ya, takut infeksi" ucap Nania. Andra tidak tahan lagi, dia memajukan tubuhnya dan mengecup lembut pipi istrinya "makasih ya.." bisiknya dengan wajah semringah.

Nania hanya bengong menatap Andra heran.

****

Walau dia sudah tidak bisa meneruskan aksi marahnya pada Andra, bukan berarti perasaan Nania sudah benar – benar lega. Masih banyak pertanyaan lainnya. Yang paling utama, apa yang Fira dan Andra lakukan di mobil, sampai bantal kesayangannya harus terpental ke sisi kosong itu? Yah, walau kecurigaan Nania tidak beralasan, karena Dimas pun ada didalam mobil Andra.

Tapi kenapa harus Fira yang ada didepan? Kenapa bukan Dimas? Dan kenapa Andra membiarkan itu terjadi?

Kalau memang Andra ingin bebas bergaul dengan mantan kekasihnya, tanpa perlu repot – repot menceritakan lebih dulu pada Nania. Kalau gitu kenapa Nania harus repot – repot menghindari Bobby dan Dewa?

Kenapa kebebasan itu hanya milik Andra? sementara Nania tidak? Apa jaminannya, kalau Andra setelah bebas menemui wanita manapun yang dia mau, dia akan tetap kembali pada Nania?

Nania juga masih muda, dia masih punya banyak kesempatan. Dia juga tidak mau rugi, berada dalam pernikahan ini.

Setidaknya, itu yang membakar semangat Nania, untuk sedikit menghirup 'kebebasan'.

"kamu makan masih aja cuma sedikit sih, Nan?" Dewa tertawa geli melihat Nania yang mengurangi separuh porsi nasi putih di piringnya. Nania hanya mengendikan bahunya cuek. Walau sikapnya tidak sehangat dulu, tapi Dewa bahagia akhirnya keinginannya untuk bisa makan dan duduk berdua dengan Nania akhirnya terwujud.

Trial & ErrorWhere stories live. Discover now