"Kau akan belajar dengan mereka." Celetek Mashiho dengan senyum lebar, mendorong secangkir teh ke hadapannya.
"Eh?" Asahi menerima teh itu, namun tidak dapat memahami kalimat yang mendadak dilontarkan oleh Mashiho.
"Kau tidak ada hal lain untuk dikerjakan bukan?" Tanya Jihoon yang kebetulan mampir ke toko untuk bertemu Mashiho, menumpu beban kepalanya dengan sebelah tangan berada di atas meja sembari menatap Asahi.
"Aku rasa aku butuh pekerjaan." Jawab Asahi kikuk.
Mashiho tersenyum miring, "Bagaimana jika kau ikut belajar dengan mereka, juga kau bekerja dengan ku?"
Asahi menatap Mashiho dengan enggan, "Aku tidak tahu apapun mengenai ramuan."
"Itu gunanya belajar." Jihoon tersenyum lalu mengelus kepala Asahi, "Tenang saja, kami semua mau saja untuk membantumu." Jihoon mengalihkan pandangannya pada Mashiho, "Daripada seperti si bocah singa itu yang suka kabur-kaburan."
Mashiho dan Jihoon tertawa terbahak-bahak, Asahi hanya diam memandangi mereka. Mengangkat cangkir teh dan meminum isinya, menunggu dua pria kekar di hadapannya berhenti tertawa.
"Aku hanya punya sedikit tabungan untuk keperluan hidup." Celetuk Asahi.
"Jika kau mau menerima tawaranku tadi, tentunya aku akan membayarmu, meskipun mungkin tidak seberapa." Jawab Mashiho, menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya karena tertawa. "Aku juga bisa mengajarimu cara berkebun dan berburu, jadi kau tak perlu terlalu banyak menggunakan uangmu."
"Mengenai keperluan belajarmu, aku dan Hyunsuk yang akan mengurusnya. Bagaimana? Kau mau terima, atau tidak?"
Asahi menunduk memandangi tehnya, berpikir mungkin tidak ada ruginya jika dia menerima tawaran itu. Mengingat dirinya hanya mengetahui sedikit hal mengenai sihir dan semacamnya di kota yang banyak menggunakan sihir, akan tampak begitu bodoh jika dirinya menolak tawaran itu. Meski di kota, tidak semuanya mampu menggunakan sihir. Banyak juga manusia yang bekerja selayaknya kemampuan mereka. Namun Asahi adalah penyihir putih, selama hidupnya hanya mempelajari sihir yang diajarkan Ibunya dan juga hanya mengikuti buku panduang sihir milik Ibunya juga. Jika dirinya bermaksud lebih mendalami sihirnya, maka dia harus menerima tawaran itu.
Asahi mengangguk, "Oke."
Jihoon dan Mashiho tersenyum.
"Kalau begitu, kita mulai dengan mencari pakaian mu." Celetuk Jihoon.
Kini Asahi berdiri di gerbang kastil yang terlihat sangat kokoh. Memandangi ukuran kastil itu yang tidak main - main. Atap - atap runcing dan patung - patung gargoyle tampak menjaga perbatasan istana.
"Asahi! Ada apa?"
Asahi tersadar dari lamunannya, melihat Jihoon yang sudah memasuki kastil tengah memanggilnya. Asahi berlari menyusul. Jihoon membawa Asahi ke ruang jahit, dimana terdapat nenek tua sedang menjahit dengan mesin jahit kuno. Nenek itu menoleh dan tersenyum. Asahi mengangguk sopan. Jihoon mendorong Asahi mendekati nenek itu. Nenek itu berdiri dan mengambil meteran yang ada di sampingnya. Memutarinya pada tubuh Asahi, dan dengan jari berpendar membuat pena bulu dan perkamen terbang di udara seraya mencatat ukuran tubuh Asahi. Asahi baru sadar jika nenek ini menjahit dengan sihirnya, bukan dengan tangannya yang memang sudah rapuh. Asahi sempat khawatir bagaimana pakaiannya nanti. Pakaian itu sudah jadi dalam waktu sepuluh menit, begitu singkat dengan sihir dari nenek si tukang jahit. Sebuah setelan jas dan celana hitam panjang, kemeja putih, dasi dan rompi yang masing - masing berwarna abu - abu terang dan abu - abu gelap, dan sebuah sepatu pantofel terbang tangan Asahi yang terbuka. Pakaian itu melipat dirinya sendiri dengan rapih.
YOU ARE READING
Then and Now ; [Jaesahi]
FanfictionUNDER REVISION Asahi yang pindah ke kediaman lama milik Ibunya dulu, bertemu dengan laki - laki yang mengaku selalu menunggu sang pemilik pondok itu kembali. Jaehyuk mencintai gadis yang menolongnya dulu hingga sekarang, namun justru bertemu dengan...
![Then and Now ; [Jaesahi]](https://img.wattpad.com/cover/260148193-64-k955780.jpg)