Asosiasi Babu Ceria

17 1 0
                                    

Grup chat dengan display name 'Asosiasi Babu Cantik', terlihat sangat ramai dengan pesan-pesan baru yang terus bermunculan di dalam layar ponsel milik Saminah. Beruntung, ia sudah mengaktifkan mode diam. Karirnya sebagai asisten rumah tangga tidak akan terancam dengan rentetan pesan berantai dari salah satu sahabat karibnya, Wawa yang juga  seprofesi dengannya.

Haduh, gimana nih gengs?

Tolongin aku dooongggs.....

Udah enam bulan nggak dapet gaji dari 'Naga berbulu Angsa' nih.

Begitulah kiranya sepenggal pesan dari perempuan berusia awal tiga puluhan. Wawa sudah lima tahun ini bekerja di salah satu rumah yang masih satu komplek dengan rumah majikan Saminah. 

"Saminah, kamu ngapain berdiri di sana?" Seru Andaru, majikan Saminah.

Saminah segera mematikan layar ponselnya dan menyimpannya di balik kantong daster batik berwarna oranye yang ia kenakan. "Sebentar, Ibu." Balasnya.

"Saya berangkat dulu, tolong kamu bersihkan bekas makanan semalam." Titah Andaru sambil mematut diri di depan lemari kaca di ruang tengah. 

Semalam ada pesta besar di rumah Andaru. Hal itulah yang membuat Saminah terlambat bangun dan baru melaksanakan tugas harian, namun terhambat dengan pesan Wawa yang berdatangan seperti panjangnya gerbong kereta. "Baik, Bu." ucap Saminah sebelum gantungan baju melayang dari tangan majikannya. 

Setelan pakaian dengan brand ternama, wangi parfum yang begitu menyejukkan, membuat Saminah melamun. Membayangkan jika dirinya dapat memiliki nasib yang sama seperti seorang Andaru. 

"Indri, mana?" Tanya Andaru sambil memandangi seluruh sudut ruang tengah yang terlihat begitu sepi.

Saminah melemparkan pandangan ke arah samping, ia menggerutu. 

"Kayaknya lagi di belakang, Bu." Kebiasaan anak perempuannya yang baru satu tahun ikut bekerja belum berubah sama sekali.

"Suruh dia bangun. Jangan malas jadi perempuan." Seru Andaru yang kemudian melenggang pergi untuk ke butik pribadinya.

Napas lega keluar dari hidung lebar Saminah. Perempuan itu kembali mengambil ponsel di dalam saku dan membaca isi pesan grup sambil berjalan ke arah kamar pribadinya untuk membangungkan anaknya.

"Indri! Bangun. Udah siang." Seru Saminah sambil memukuli pantat Indri dengan guling. 

Remaja berusia 18 tahun itu menggerang di balik selimut. "Iya-iya." Sahut Indri sambil terduduk di atas kasur.

"Kalau sampai kamu bangun molor terus, Ibu nggak peduli kalau nanti Bu Andaru ngusir kamu." Kata Saminah.

Perempuan berusia awal empat puluhan itu bergegas untuk merapikan kasur, "Mandi, sana." Perintahnya pada Indri.

Hampir tujuh tahun lamanya, Saminah bekerja di rumah Andaru. Perempuan mandiri yang begitu keras dan tegas dalam bersikap. Setiap kali ada teman-teman atau sanak saudaranya bertanya mengenai status lajangnya, wanita yang menyukai interior rumah bernuansa vintage itu, selalu tersenyum manis. 

Pernah sekali waktu, Saminah mendengar alasan mengapa perempuan mapan dan sukses seperti Andaru tidak segera untuk menikah kepada salah satu teman yang bermain di rumah sambil menangis. "Ini alasan aku nggak mau nikah, ujung-ujungnya saling menuntut untuk dibahagiaakan dan menjadi egois satu sama lain."

Kabarnya, tamu wanita itu sedang dalam masa persidangan cerai. Andaru memberikan sedikit pesan padanya, "Mulai sekarang, bagaimana pun masalah yang kamu alami, berusahalah untuk kuat dan tegar. Kita nggak pernah tahu, kapan ujian akan datang, kita adalah kuasa atas diri kita sendiri." 

What Woman Wants [✔️] Where stories live. Discover now