Bab 6 - Seperti Matahari

Start from the beginning
                                    

"Takut aja setan. Soalnya kan zaman sekarang itu nggak luput dari kata prank, kemarin baru viral tuh, katanya setan pun bisa nge-prank! Hahaha, sungguh dunia tipu-tipu!" Zaara berucap membuat Defasha tertawa nyaring seketika.

Lantas sedetik kemudian mereka berlari pelan untuk mengeluarkan keringat di pagi hari. Gaya berpakaian Defasha dengan Zaara sangat bertolak belakang.

Defasha yang berstyle dengan celana ketat berwarna hitam, kaos putih sedikit tembus pandang, sepatu biru tua yang dikenakannya, serta aerphone mini yang melingkar di lehernya. Namun, sedangkan Zaara. Perempuan itu berpakaian gamis labuh, kerudung abu-abu yang menjulur hingga ke pusarnya, serta sepatu abu-abu yang dikenakannya.

Kadang, banyak yang mengira bahwa perempuan tertutup pasti enggan berteman dengan perempuan yang mengumbar auratnya. Lantas begitu pula sebaliknya. Namun, pada hakikatnya pernyataan itu salah. Setiap perempuan berhak untuk berteman, semuanya berhati nurani baik, hanya saja penampilan yang berbeda.

Sepanjang perjalanan keduanya saling bercerita, kemudian berhenti ketika berjumpa dengan tiga orang lelaki berjubah di hadapan mereka. "Loh di sini juga?" Defasha bertanya.

"Habis salat Subuh," ujar Hamdhan melepaskan kopiah hitamnya. Mendengar itu Defasha mengangguk-angguk saja.

Beberapa detik kemudian, dia kembali berkata. "Itu rambutnya itu jangan disikat, biarin aja berantakan. Lebih gan-teng," cakap perempuan tersebut sedikit menjinjit menyesuaikan diri.

"Jomlo nyimak."

Namanya Dimas, sosok sama seperti bunglon, katanya. Wajahnya tampan, berwajah tirus dengan warna kulit sawo matang. Dia sedikit tertawa, kemudian kembali berucap, "Ayolah halalin buruan!" soraknya.

Hamdhan melirik sekilas ke arah pemuda itu. Lalu kembali menoleh menatap manik hitam Defasha yang menatap ke arahnya. "Doain," kata lelaki tersebut dengan senyumnya.

"Buruan, nanti diambil orang lain baru tahu!"

Dimas berseru kemudian, Hamdhan dan Defasha sedikit tertawa merespons-nya. "Kalau udah jodoh mah nggak ke mana, cukup berdoa, ikhtiar, dan mencoba memperbaiki diri kembali."

Dylan menyahut kemudian, seketika suasana mencekam dan tidak lagi ada yang bersuara.

Jleb!

Semua pasang mata menatap ke arah lelaki beraura menakutkan itu. Melihat keadaan ini, sebelah alis Dylan sedikit terangkat ke atas.

"Eh, kenapa? Salah, ya?"

Melihat ekspresi Dylan seketika Zaara tidak lagi tahan untuk tertawa girang. "Nggak, cuma terharu aja. Rupanya Mas Gulali bisa bijak juga, ya?" kata perempuan itu entah memuji atau mengejek. Lantas dia kembali tertawa.

"Memangnya kamu nggak bisa?"

Mendengar itu Zaara menyengir seketika, menampilkan deretan gigi putihnya dengan sorot mata fokus ke satu titik. "Bisa, kok, sebentar!" cakapnya kemudian melangkah pelan menuju suatu tempat.

"Ada apa?"

"Mang siomay! Tunggu! Zaara mau beli ...!"

Dia kemudian berlari menuju ke arah gerobak penjual siomay itu. Semua orang yang berada di sana sontak langsung tertawa.

"Jangan dipikiran, tuh anak udah kebiasaan! Kalau liat makanan, duh, langsung deh kumat penyakit laparnya dengan iming-iming, kasian 'kan cacing-cacingnya kelaparan!" kata Hamdhan mengikuti cara bicara adiknya. Sungguh adik meresahkan!

"Hahaha!"

Lelaki bernama Hamdhan itu kemudian melirik sebentar ke arah Dylan yang sedikit menyunggingkan senyumnya. "Ya 'kan, Lan?"

GulaliWhere stories live. Discover now