Capítulo 12 : esperanzas rotas

Start from the beginning
                                    

Seungcheol tidak terbiasa. Bahkan sekarang pun dia sengaja menjauh dari pusat keramaian. Sembari menikmati sebatang rokok, asap mengepul terbawa angin dari gang sempit yang dipilih si Dorado tampan. Langit malam La Cascada tidak terlalu pekat, tidak pula berbintang di atas sana. Sama seperti semangat hidup yang di antara ada dan tiada, di ambang duka maupun bahagia, atau lebih tepatnya di tengah kata tenang maupun menderita. Seungcheol terlalu membingunkan untuk menentukan arah hidupnya.

Ya sudah, mungkin baiknya semua dinikmati saja. Apalagi jika mengingat usia yang sebentar lagi menginjak kepala tiga. Untuk menjadi pria dewasa mungkin harus mengalami berada di persimpangan yang menawarkan dua pilihan namun berakhir tidak memilih apa-apa. Seungcheol merasa memang selucu itu hidupnya.

Termasuk kondisi gang yang lebih sunyi jika dibandingkan dengan gedung teater yang masih dipadati pengunjung. Sebatang rokok sudah lama habis, lantas puntungnya digerus oleh sepatu boots. Seungcheol menghela napas panjang, masih mencermati rasa tembakau dan asap yang mengisi hidungnya. Lalu mengupas kemasan permen karet dengan rasa mentol untuk membuat kepala sedikit lebih tenang. Sepasang matanya terpejam, ternyata masih ada yang mengganjal dalam dada. Seungcheol masih jauh dari kata baik-baik saja.

Ketenangan seperti ini memang yang paling dia suka karena bisa membuat Seungcheol jujur akan keadaan yang ada. Termasuk duka serta penyesalan di masa lalu yang begitu tanpa jeda menyatroni masa kecilnya. Seungcheol sudah bertahan selama ini saja menjadi keajaiban paling luarbiasa dari yang pernah ada. Sehingga memang tidak ada hal lain yang diinginkan untuk membahagiakan diri yang penuh dosa.

Bruk.

Tiba-tiba, dari arah jam dua belas tempat Seungcheol berdiri terdengar suara gaduh. Dibandingkan benda, bunyi yang dihasilkan seperti dari manusia yang kehilangan kesadaran terjatuh di atas paving block berdebu. Benar saja, saat Seungcheol berjalan mendekat untuk memastikan, temaram lampu yang menyirami mereka menunjukkan jika makhluk itu adalah manusia karena terdengar napas yang cukup serampangan. Mungkin orang mabuk atau korban pemukulan mengingat sangat lumrah menemukan kondisi demikian di La Cascada.

“Hei, kau tidak apa-apa? Kau tidak berniat mati di hadapanku, kan? Halooooo, apa kau bisa memahami bahasa manusia?”

“Ungh ... berisik!” jawab manusia misterius yang sepertinya sesosok pemuda jika dari suara yang lebih berat untuk ukuran wanita. “Bantu aku bangkit ... kakiku lemas sekali. Sialan memang mereka, sudah tahu aku tidak tahan malah diberikan tiga gelas wine. Dasar makhluk laut brengsek. Semua pejabat La Playa memang manusia sialan.”

Deg.

Seungcheol terkesiap ketika menemukan wajah pemuda yang paling dihindari ternyata menyambut uluran tangannya. Siapa lagi jika bukan oknum bernama Élyséen Jeonghan yang saat wajah terkena cahaya tampak kacau karena pengaruh alkohol. Termasuk kancing kemeja yang terbuka sampai perut. Menyadari bagian itu terpapar, Seungcheol buru-buru melepas jaket miliknya dan memberikan pada Jeonghan. Dilema antara mengabaikan atau malah menolong, mengingat kondisi pemuda Lupus ini betul-betul tak berdaya.

“Aku mengantuk ... t-tolong antarkan aku—eh, kenapa ada pria tampan di sini? Bukankah kau Brendanku yang tsundere itu? Astaga, apakah ini mimpi? Bukankah malam ini terlalu ajaib untuk disebut kebetulan? Huhu ... betapa tampannya Alphaku. Kemarilah, Brendan sayang ... biar kuberikan kau ciuman selamat malam.”

“Astaga,” sekarang giliran Seungcheol yang kewalahan begitu Jeonghan menumpu semua beban tubuhnya melalui pelukan. “Kau sudah gila, ha? Kau pikir tubuhmu seringan kapas ... hei, lepas! Lepaskan pelukanmu, aku bukan bantal guling!”

“Aaaaah, tidak mau. Aku tidak mau bangun dari mimpi indah ini. Aku ingin memeluk jodohku yang sulit diraih ini. Kapan lagi aku bisa dipeluk seorang Brendan jika bukan sekarang? Pokoknya takkan aku biarkan mimpi ini berakhir begitu saja.”

LluviaWhere stories live. Discover now