s p e c i a l

944 153 82
                                    

Di tahun keenam-ku, saat sedang tanding Quiddtich melawan tim Gryffindor tanpa sengaja aku memukul kepala Alicia Spinet─Chaser Gryffindor.

Beberapa tim Quidditch Gryffindor tampaknya tak terima dengan apa yang aku lakukan meski aku tak sengaja.

Kedua beater mereka nampak yang paling marah. Ya, si kembar Weasley.

Salah satunya berhasil ditahan oleh beberapa anak, sedang satunya berjalan cepat ke arahku dengan wajah memerah.

Tanpa aba-aba aku tersungkur karena tinjuannya yang cukup keras.

Hidungku patah, berdarah.

Aku tidak melawan, karena merasa wajar jika mereka marah.

Tak ada yang menghentikan Weasley yang masih memukulku waktu itu. Nampaknya anak yang lain takut melihat anak ini marah.

Sampai aku tak merasakan pukulan lagi, aku membuka mataku dan berusaha bangun untuk duduk.

Rasa sakit di wajahku seakan memudar saat melihat seorang gadis yang berhasil menghentikan Weasley yang memukulku berjalan menjauh sambil mengelus punggung anak berambut merah itu.

Sesekali gadis itu menoleh dengan wajah khawatir ke arahku.

Tanpa sadar waktu itu aku tersenyum tipis menyadari ia mengkhawatirkanku.

Sejak saat itu, aku sering kali diam-diam memperhatikannya saat dimana pun aku bisa melihatnya.

Perlahan aku tahu bahwa ia salah satu anak keturunan pure-blood yang seluruh keluarganya berasal dari asrama Slytherin semasa sekolah.

Hanya gadis itu yang masuk di Gryffindor.

Semakin lama, aku semakin sadar bahwa aku menyukai gadis itu.

Tapi entah mengapa, aku tak berani untuk mendekatinya atau bahkan sekedar mengajaknya berkenalan.

Sampai akhirnya aku lulus dari Hogwarts, aku masih belum mengajaknya berkenalan apalagi berbicara.

Suatu ketika, aku mendengar orang tuaku yang menyebut marga gadis itu. Tanpa sadar aku menajamkan pendengaranku untuk mengupingnya.

Dari sana aku tahu bahwa gadis itu diusir oleh keluarga besarnya karena memiliki hubungan dengan salah satu Weasley.

Dan sepertinya aku tahu siapa.

Penyesalan selalu datang di akhir.

Setelah mengetahui itu aku berusaha mencari perempuan lain dan mengajak mereka berkencan.

Siapa tahu dengan begitu aku bisa melupakannya.

Tapi ternyata salah.

Aku malah semakin menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada gadis itu.

Gadis yang bahkan belum tentu tahu namaku.

Bagaimanapun juga, takdir tetaplah takdir.

Meski aku tidak suka melihat gadis yang kucintai itu meneteskan air mata. Tapi dari sana aku bisa dekat dengannya.

Hingga akhirnya aku menjadi suami dan ayah dari anaknya.

Dia, cinta pertamaku.

First Love?حيث تعيش القصص. اكتشف الآن