Sibling Relationship (Part 2)

Start from the beginning
                                    

Boruto beralih kepada kain pel, membersihkan lantai toilet yang sudah mulai menguning. Ia menggosok lantai itu dengan cukup banyak tenaga, agar noda kuning itu dapat benar-benar menghilang.

Kenapa ini kotor sekali? Aku jadi curiga, kalau petugas kebersihan sengaja tidak membersihkan toilet ini karena tahu aku yang akan membersihkannya.

Boruto menghela napasnya. Kalau sudah begini hanya bel istirahat yang bisa menyelamatkannya.

---

Perut itu sudah menggerutu sejak ia selesai membersihkan toilet terkutuk itu. Boruto duduk di bawah pohon rindang yang ada di belakang sekolahnya. Di sana, ia sedang menahan laparnya.

Hari ini, uang sakunya yang tak seberapa sudah habis untuk membelikan Yuina es krim. Dan hari ini juga, Sumire ternyata tidak berangkat sekolah. Boruto yakin, Sumire pasti tidak bisa berangkat karena ditahan oleh Ayame. Lalu, jadilah seperti ini; hanya dapat duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang rindang sembari terus memegangi perutnya yang keroncongan.

Boruto memandang ke atas langit. Awan-awan putih yang berlalu lalang itu entah mengapa tampak seperti makanan bagi Boruto. Sepertinya, lapar membuat imajinasinya lebih aktif.

Laparnya...

Boruto menutup matanya. Ia pikir sebaiknya ia mengalihkan rasa laparnya dengan tidur. Lagi pula, ini adalah halaman belakang sekolah. Ia yakin, kalau tidak akan ada yang tahu ia tidur di sini. Kalau ada pun itu pasti kepala sekolah itu. Ia juga bingung, entah mengapa guru yang satu itu selalu dapat mempergoki dirinya.

"Onii-chan!"

Ah, sepertinya lapar benar-benar berdampak besar baginya. Ia bahkan seperti sedang mendengar suara Himawari. Tidak mempedulikannya, Boruto tetap menutup matanya dan tidak ada niatan untuk mencari asal suara itu, karena ia pikir itu hanyalah khayalannya saja.

"Onii-chan!"

Suara itu kembali terdengar. Kali ini terasa lebih jelas. Boruto baru tahu daya khayalnya sungguh tinggi seperti ini.

"Onii-chan!!"

Tunggu, sepertinya ini bukan khayalan lagi. Boruro membuka matanya. Di sana, Himawari ada di depannya. Berjongkok memandangi wajahnya.

"Himawari...-san?"

"Akhirnya..." Himawari menghembuskan napas lega. "Kukira kau sudah mati, Onii-chan?" Boruto membenarkan posisi duduknya. Ah, dia terlihat lemas. Lapar dan kelelahan mungkin alasannya. "Apa maksudmu?"

"Aku sudah memanggilmu berkali-kali, tapi kau tidak kunjung membuka matamu. Apa kau sakit lagi, Onii-chan?"

"Tidak." Boruto memegangi perutnya. "Aku hanya sedang lapar."

"Sudah kuduga." Himawari mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini makanlah. Aku membuatkanmu bekal, Onii-chan." Himawari menyodorkan bekal makan siang itu pada Boruto.

"Bagaimana kau tahu?" Boruto menerima bekal makan siang itu. Ia sudah sangat lapar, tidak ada pilihan lain. "Anggap saja insting saudara kandung." Himawari tersenyum lembut pada Boruto.

Boruto sedikit terenyuh. Ia jadi berpikir, apa memang benar kalau gadis di depannya ini adalah adiknya. "Terima kasih... Himawari-san." ujarnya.

"Sudahlah. Sekarang, Onii-chan makan saja."

"Ah, baiklah." Boruto membuka tutup kotak makan siang berwarna biru itu. Di sana, nasi dan telur dadar sudah siap untuk ia makan. "Sepertinya enak."

"Kalau belum dicoba mana bisa tahu, bukan?" Himawari menyerahkan sumpit kepada Boruto. "Baiklah, akan kucoba. Ah, tidak. Aku akan menghabiskannya." ujar Boruto.

Lucky LevelWhere stories live. Discover now