1. Tisha dan Lukanya

91 8 87
                                    

"Sha! Kenapa masih di sana?" Seorang perempuan berusia 27 tahun berseru agak kencang pada gadis berseragam putih abu yang dapat dia kenali-walau hanya dari belakang-sebagai adiknya.

Yang dipanggil bergeming. Tubuhnya mematung dengan pandangan lurus. Entah apa yang ada di depan sana hingga membuatnya tampak begitu fokus.

Merasa diabaikan, perempuan bernama Riana itu cepat mengayunkan kaki menuju gerbang yang berbatasan langsung dengan jalan raya, tempat si adik berada.

"Sana ambil mot .... Astaghfirullah!" Riana yang baru akan memanjangkan tangan untuk menepuk bahu adiknya, malah memekik lalu membekap mulut. Terkejut melihat pemandangan tragis di seberangnya.

Seorang anak perempuan terbaring di tengah-tengah aspal dengan posisi miring. Dia meringis sambil berurai air mata. Tak jauh darinya, sebuah sepeda tergeletak tak beraturan. Sepertinya anak itu terjatuh saat mengendarainya.

Riana buru-buru berlari, menghampiri anak itu kemudian membantunya bangun dan bergeser ke pinggir jalan yang lebih aman.

"Mana yang sakit, Dek?" Riana bertanya khawatir.

Bukannya menjawab, anak berkuncir dua itu malah makin terisak. Tangan kanannya yang semula memegangi sikut kiri dijauhkan, lalu terlihatlah darah segar membasahi kulitnya.

Riana kaget, refleks memelototi sang adik yang hanya diam menonton dari kejauhan. "Tisha ambil motor! Kita bawa anak ini ke puskesmas!"

Suara Riana yang begitu kencang membuat Tisha gelagapan, sehingga dengan wajah linglung gadis itu bergerak menuju parkiran.

•••

Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya urusan anak kecil itu selesai. Beruntung lukanya tidak terlalu parah, sehingga pengobatan berlangsung cukup singkat, dan kini dia telah diantar pulang.

Tepat pukul lima sore Tisha dan Riana tiba di rumah. Keduanya menuju ruang keluarga kemudian berbaring di sofa yang posisinya berseberangan terhalang sebuah meja. Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti, keduanya asik memandang langit-langit rumah. Sampai akhirnya Riana bangkit dan mendudukkan diri, bersila memandang Tisha.

"Sha!" Riana memanggil pelan sambil membuka kerudung dan menyimpannya di lengan sofa.

"Hem?" Tisha menyahut lemah, tanpa menoleh, masih nyaman dengan posisi rebahan. Dia sedang berusaha memulihkan energi yang sudah terkuras banyak akibat mengendarai motor dengan kecepatan tinggi diiringi teriakan Riana yang duduk di belakangnya sambil memeluk si anak perempuan.

"Sha, Teteh mau bicara!" Ada sedikit penekanan pada suara Riana. Dia semakin menegakkan punggung dan mendatarkan ekspresi.

Namun, Tisha tak acuh saja. Dengan santai dia membalas, "Iya, silakan. Teteh bicara, aku dengarkan."

"Tisha Andira!" Nada Riana meninggi. Wajahnya memerah. Kini dia sedang ingin berbicara serius, dan tanggapan Tisha yang ogah-ogahan agak menyulut emosinya, membuatnya merasa kurang dihargai.

Tisha mendesah tertahan. Sadar akan kekesalan sang kakak, dia pun segera mengubah posisi menjadi duduk dengan kaki terurai lemah ke lantai dan punggung yang tetap bersandar. "Apa?"

Riana berdeham, berusaha menetralkan ekspresi. "Kamu tahu gimana anak tadi bisa jatuh?"

Tisha mengangguk sekenanya. "Tadi dia mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi tanpa memperhatikan lobang di jalan, terus hilang keseimbangan pas melewati bagian itu. Sepedanya oleng, dia terlempar dan jatuh agak ke tengah aspal," jelasnya lugas. Menerangkan kronologi kejadian yang dilihatnya saat sedang menunggu kedatangan Riana yang entah kenapa hari ini sangat telat, tidak seperti biasanya yang sesaat setelah bel pulang berbunyi pun sudah sampai parkiran.

"Terus kenapa kamu cuman memandang dia dari kejauhan?"

Tisha diam.

"Kenapa gak menghampiri? Kenapa hanya jadi penonton? Kenapa kamu gak menolong?!" Beruntun, dengan intonasi menggebu Riana menyerbu sang adik penuh tanya.

Bibir Tisha setia tertutup rapat. Pandangannya begitu nyalang. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. Yang jelas hal itu membuat Riana geram.

"Kenapa diam aja, Tisha? Jawab Teteh!" Riana menitah lantang, menggebrak meja pelan.

Akan tetapi, Tisha tetap bungkam.

"Kenapa kamu tega membiarkan orang yang sedang kesakitan dengan jelas di depan mata kamu? Di mana kepedulian kamu? Apa kamu gak terenyuh sedikit pun menyaksikan keadaan dia yang agak mengenaskan?"

"Aku kasihan kok lihat dia!" bantah Tisha dengan bola mata melebar. Sedikit tidak terima dengan ucapan-ucapan Riana yang seolah melabelinya bagai mahkluk tak berperasaan. Padahal tidak begitu. Meski terlihat seperti tak acuh, tetapi sebenarnya hati Tisha tetap sedikit bersimpati. Sayangnya dia tidak pernah lagi sampai ke tahap melakukan aksi sebagai bukti peduli.

"Terus kenapa hanya diam? Harusnya tadi itu kamu bantu dia. Kalau gak sanggup langsung sendiri, minimal kamu bantu teriak, biar orang lain tahu ada yang sedang butuh bantuan."

Lagi-lagi Tisha hanya membisu. Tangannya bertautan di pangkuan. Keresahan mulai dia rasakan. Dia selalu tak nyaman membahas topik ini. Baginya perkara bersosial adalah hal yang memberatkan.

"Hubungan dengan sesama manusia itu harus dijalin dengan baik, Tisha. Kita ini mahkluk sosial, dan tolong menolong merupakan sebuah kewajaran bahkan menjadi keharusan kalau situasinya genting kayak tadi."

Riana mengurut pelipis. Sikap Tisha yang begitu apatis, senantiasa menjadi beban pikirannya. Dia merasa gagal mendidik sang adik jika terus begini keadaannya. Ini bukan pertama kalinya Tisha mengabaikan orang yang membutuhkan bantuan. Sejak beberapa tahun lalu, lebih tepatnya setelah kedua orangtua mereka meninggal, Tisha jadi sosok yang terlalu menutup diri dari lingkungan. Fokus gadis itu hanya pada diri sendiri. Dia lebih suka berteman sepi daripada harus membaur dan melakukan kegiatan sosial yang lebih manusiawi.

"Bunda dan ayah gak akan suka ini, Sha." Riana menghela napas, menjatuhkan punggung ke sandaran dengan mata terpejam.

"Aku memang gak pantas mereka suka." Wajah Tisha berubah sendu. Dia menunduk dengan bibir bergetar. "Mereka bahkan harus pergi karena tingkah sok peduli aku."

"Astaghfirullah, Tisha!" Riana memelotot. Dia menurunkan kaki lalu mengusap muka, frustrasi. "Jangan bicara gitu!"

"Memang begitu kan faktanya?! Dulu aku ini anak yang terlalu sok. Keinginan peduliku terlalu bermacam, tetapi kemampuan dan kemandirianku nol besar. Sampai akhirnya salah satu keinginanku malah membuat bunda dan ayah pergi selamanya."

Tisha terisak. Menyesali kejadian naas satu windu lalu yang menurutnya adalah salahnya. Jika saja dari dulu Tisha bisa menjadi pemberani yang mandiri, dan tidak terlalu sok peduli, mungkin semua kemalangan itu tidak akan terjadi.

Itulah yang membuat Tisha menutup diri. Dia tidak mau terlibat kehidupan orang lain lagi karena takut nantinya apa pun kepeduliannya malah hanya akan menimbulkan hal yang tak diharapkan.

Sekarang pegangan hidup Tisha hanya satu, dia ingin menjadi pemberani. Dia bertekad untuk mandiri, dalam teritori yang dibuat sendiri. Tak peduli bagaimana pandangan orang sekitar terhadapnya. Yang penting dia dapat hidup tenang tanpa bayang-bayang ketakutan akan melukai orang lain.

Riana menggeleng lemah dan menghela napas berat. Ternyata ... sang adik masih berkutat dengan luka lama.

•••

Catatan:
Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda. Pembacaan e nya sama kayak di kata tempe.

SeharapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang