Chapter 34 - Jawaban

Mulai dari awal
                                    

Karisma menaikkan satu alisnya. "Semuanya bakal berakhir, kok, tinggal nunggu waktu aja," kata Karisma sambil melirik arlojinya. Mendegar ucapan Karisma barusan, membuat Alkar mengerutkan keningnya. Raut wajahnya berubah penuh tanya.

"Satu ... dua ...," ujar Karisma menghitung, tatapannya masih tertuju pada sesuatu yang melingkar di pergelangan tangannya itu.

"Apa maksud lo?"

"Tiga ...."

"Karisma!"

"Empat ...."

Emosi Alkar memuncak.

"Li ... ma. Games over. Tiana ... it's over." Karisma tersenyum bangga.

Dada Alkar naik turun, menahan amarahnya. Tangannya di sana sudah terkepal erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuhnya dingin bercucuran peluh. Tak ada waktu lagi, ia langsung saja berlari keluar. Menuju rumah sakit di mana Karisma dirawat. Ia tidak boleh kalah untuk kesekian kalinya. Tidak boleh.

***

Mati-matian Stevlanka menahan dirinya untuk tidak bisa melewati detik-detik ini. Ingin mengucapkan sesuatu tetapi begitu sulit diutarakan. Sebuah tangan yang mengusap rambutnya itulah yang membuatnya merasa sedikit tenang. Semua yang ia ucapkan adalah keberanian yang ia kumpulkan sejak Ardanu membawanya ke bukit ini. Beberapa jam yang lalu. Bahkan Stevlanka tidak merencanakan semua ini sebelumnya.

"Gue lebih dari itu, Vla," kata Ardanu.

Air mata Stevlanka semakin mengalir deras. Mencengkram seragam Ardanu, mengigit bibir bawahnya. Ia senang ada seseorang yang menyayanginya. Momen inilah yang ia tunggu sejak dulu. Hangatnya pelukan tulus, kalimat yang menggetarkan. Untuk saat ini Stevlanka berharap bukanlah ilusi. Tapi jawabannya akan ia dapatkan setelah ini.

Stevlanka menarik napasnya dalam-dalam. Kemudian berkata, "Ardanu, gue nggak normal. Gue punya sindrom berbahaya."

"Tangan gue ... Alien Hand Syndrome."

Ardanu terpakasa membuka matanya, senyum di bibirnya perlahan memudar. Ia melepaskan pelukannya untuk bisa menatap Stevlanka. Keterkejutan di wajah tegas itu amat kentara.

"Apa?" tanya Ardanu memastikan.

"Tangan ini melukai banyak orang." Stevlanka mengangkat kedua tangannya. "Tangan ini bergerak di luar kendali otak gue. Ketika mulai bergetar dan rasanya mati, gue nggak akan pernah bisa berbuat apa-apa. Gue selalu nggak sadar. Kejadian di toilet sama Satya waktu itu."

"Sama Cantika, Meifa, lo, dan temen di sekolah lama gue. Gue bukan siswa pindahan, tapi gue siswa yang dikeluarkan karena sindrom gue. Ayah yang bikin pihak sekolah menutup semuanya. Hidup gue penuh kebohongan, Dan. Dari awal gue melangkah melewati gerbang Sma Angkasa Biru dengan kebohongan," kata Stevlanka berderai air mata.

"Gue bisa jadi orang yang paling baik, tapi gue bisa jadi orang yang paling jahat, Dan," lirih Stevlanka. Ardanu tidak mampu lagi berkata-kata. Dan kediaman laki-laki itu membuat hati Stevlanka teriris. Mungkin semuanya akan berakhir hari ini. Tidak ada lagi orang yang akan menggenggam tangannya, menghapus air matanya, dan orang yang selalu ada.

Sekali lagi Stevlanka menghela napasnya. Tidak ada pilihan lain selain pergi dari tempat ini. Ia memutar tubuhnya hendak melangkah, namun terhenti karena ucapan Ardanu.

"Gue sayang sama lo, begitu juga sebaliknya." Ardanu melangkah mendekati Stevlanka yang masih membelakanginya. Memeluk dari belakang. Tangannya melingkar di leher gadis itu.

"Gue nggak peduli sama kondisi lo. Gue udah janji untuk selalu ada. Fakta barusan nggak akan mengubah janji gue. Lo minta gue selalu genggam tangan lo, kan? I do," ujar Ardanu tepat di samping telinga Stevlanka. Gadis itu tertegun. Ini bukan ilusi? Apa ini nyata? Isakan tidak bisa ia tahan. Melepaskan tangan Ardanu, membalikan tubuhnya.

DELUSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang