07. A Day with Jeremy

Start from the beginning
                                        

"Kalo diliat dari penampilan luar kamu, kamu kaya orang yang tangguh dan kuat. Jadi aku pikir kamu jarang menangis. Tetapi ternyata orang yang kuat juga sesekali menangis."

Memang ternyata aku sudah banyak berubah.

"Mungkin di luar gua kelihatan sebagai seorang cewe yang tangguh tapi di dalem sini,"

Aku menunjuk dadaku dan menggelengkan kepalaku. "Di sini, sangat lemah. Ibaratnya seperti kaca yang kesenggol dikit aja udah pecah."

"Karena kamu barang pecah belah, aku akan berusaha agar tidak melukai perasaan kamu."

"Hm?"

"Oh lupain aja. Tadi itu aku cuman ngelantur." Ucap Jeremy menghindari tatapanku dan melihat keluar jendela bus.

"Oh..."

Aku tidak mengajak dirinya untuk berbicang lebih jauh mengenai perkataanya tadi. Aku malah sibuk dengan berpikir sendiri tentang mengapa dia mengatakan itu.

•••••˚₊· ͟͟͞͞➳❥•••••

"Jeno pulang."

"Anak ibu yang ganteng akhirnya pulang juga."

Seorang wanita yang mengenakan celemek berwarna merah muncul dari dalam rumah untuk menyambut Jeremy. Ketika wanita itu melihat Jeremy, dia ingin memeluknya namun Jeremy sudah lebih dulu menghindarinya. Seketika senyum di wajah ibu Jeremy redup dan tergantikan dengan rasa cemas.

"Halo tante, aku temennya Jeremy." Aku menampilan senyum ceria yang biasanya disukai oleh ibu-ibu.

"Wah, baru kali ini Jeremy bawa temennya ke rumah. Langsung cewe lagi." Ibu Jeremy terlihat ramah dan senang menggoda anaknya layak seperti ibu rumah tangga lainnya. Tetapi Jeremy sama sekali tidak tertawa, dia hanya memasang wajah datar dan tidak menunjukkan ekspresi senang sedikitpun.

"Saya hari ini mau kerjain tugas bareng Jeremy tante. Apakah boleh?"

"Tentu aja boleh dong! Tante seneng banget kalo misalnya ada temennya Jeremy yang main ke sini."

Ibu Jeremy mengajak ku untuk masuk dan mengantarkan kita ke ruang belajar yang ada di lantai dua. Dia pergi meninggalkan kita berdua ke bawah untuk mengambil beberapa camilan yang katanya bisa membantu kita untuk fokus belajar.

Ruang belajarnya cukup besar, sekitar dua kali lebih besar dibandingkan kamarku di rumah. Rak-rak buku berada di sudut ruangan menjulang tinggi, menampung ratusan buku yang berderet dengan rapih sesuai dengan kategorinya masing-masing.

Lantainya dilapisi oleh karpet bulu berwarna putih yang mirip dengan warna kaos kaki sekolahku. Dinding ruangan ini ditutup oleh busa peredam suara, mungkin supaya jika sedang belajar jadi tidak terganggu dengan bunyi luar.

Aku menempatkan diriku di salah satu kursi di meja belajar yang berada di tengah ruangan. Jeremy duduk di depanku dan menaruh tasnya di kursi sebelahnya.

"Jadi kita mau mulai dari mana?" Aku bertanya dengan semangat.

"Ini." Jeremy menunjukkan isi dari group chat nya dan dapat terlihat daftar tugas yang panjang terpampang dengan jelas.

"Lu biasa ngerjain ini semua sendirian?"

"Iya." Jeremy mengeluarkan buku yang bertuliskan nama Felix, Jake, dan Christopher.

"Udah gila apa mereka?! Ini banyak banget anjer. Gimana lu keburu buat belajar sendiri." Aku biasanya menyelesaikan tugas sendiri saja udah malas apalagi menyelesaikan tugas ketiga orang yang menindasku.

"Awalnya susah, tapi lama-lama aku bisa manage waktu aku sendiri." Jeremy mulai membuka setiap halaman dari buku mereka dan langsung mengerjakan beberapa soal dari buku cetak fisika. Setelah selesai di satu buku, dia menulisnya kembali di buku yang berbeda dan begitu seterusnya untuk tiap pertanyaan.

"Mereka kan anak kelas unggulan, kenapa minta tolongnya ke lu?"

Inilah yang membuatku penasaran. Secara anak unggulan adalah para bibit unggul yang memiliki kemampuan belajar yang melampaui satu angkatan. Pokoknya otak jenius mereka itu, sudah tidak usah diragukan.

"Sebenernya...., mereka mustinya masuk kelas yang sama kaya kita, atau mungkin bahkan kelas D atau E." Ucap Jeremy sambil terus mengerjakan soal-soal dari buku cetak.

Di sekolah kita, A itu adalah kelas unggulan yang memiliki para siswa terpintar. B dan seterusnya adalah kelas-kelas biasa, tetapi tetap saja ada tingkatannya. Sesuai dengan abjad yang menurun, kelasnya semakin berisi oleh murid-murid yang menurut sekolah berkemampuan kurang.

Untuk aku hanya diturunkan hingga kelas C, mungkin karena dulunya aku berada di kelas A.

"Terus kenapa mereka semua bisa masuk kelas A?"

Jika kemampuan mereka tidak mencukupi, lantas bagaimana caranya?

Jeremy menghentikan pergerakkan tangannya dan menaruh penanya di atas buku.  "Mau aku ceritakan?"

"Boleh."

"Ini adalah kisah yang membuatku berada di posisi ini."

•••••˚₊· ͟͟͞͞➳❥•••••

C  A  S  T

C  A  S  T

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jake

"obey me."

"unless you want to suffer for your whole life."

Lee Felix

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lee Felix

"if you come at me, i'm going to come back at you ten times harder."

"an eye for an eye."

Wrong TimingWhere stories live. Discover now