Kejadiannya sangat cepat waktu itu. Yang Nanda ingat adalah teriakan Nando dan Nando yang terdiam mematung disamping pot besar dekat tembok, lalu pecahan pot tanah dan darah yang mengalir menutupi matanya. Nanda tidak merasakan apapun. Kupingnya berdengin, kakinya lemas,dan tiba-tiba saja tubuhnya luruh ketanah bertepatan dengan gemuruh lari beberapa orang.

🍂🍂🍂🍂

Nando memandangi kembarannya yang terbaring dengan mata tertutup. Kepala yang biasa ia usak rambutnya itu tertutupi oleh perban tebal. Mungkin sekarang rambut Nanda sedikit pitak. Kembarannya yang biasanya cerewet dan suka merengek itu terbaring tak sadarkan diri. Kepalanya mendapatkan 12 jahitan. Dan itu semua karena Nando yang lalai menjaganya.

Tanpa terasa air matanya menetes satu demi satu. Air mata yang tadinya sudah terasa mengering kini seperti terisi penuh lagi. Tak ada habisnya membasahi pipinya yang pucat. Nando dapat merasakan hati dan bahkan kepalanya berdenyut nyeri.

Dian dan beberapa anak yang menolongnya membawa Nanda ke rumah sakit masih di ruangan itu. Ada Axel yang berdiri di sisi lain Nando duduk. Sedari awal dia menemukan Nanda yang tergeletak dilapangan dengan darah yang mengalir dikepalanya, hingga kini. Raut wajah dan kepalan tangannya belum mengendur. Siap untuk memukul apapun yang mengusiknya.

Disebelah Nando ada Dian yang hanya diam sembari mengusap punggung bergetar Nando. Tak ada kata yang terlontar dari bibir tipis pedas itu. Hanya diam dengan tangan yang aktif menenangkan atau dengan sigap memberi pelukan bila tangis Nando bertambah hebat.

Sedangkan di sofa ada Dimas,Reza,Angga,dan Raffa duduk dengan kepala tertunduk. Bahkan mereka yang berisik pun seolah tak ada yang ingin mengusik tidur Nanda.

Tak lama ruangan itu terbuka. Mengejutkan para pemuda yang sibuk dengan pikiran mereka. Disana, didepan pintu orang tua si kembar berdiri menatap ke dalam ruangan. Dengan tergesa bunda dari si kembar itu memasuki ruangan. Nando dan Dian sedikit menyingkir, memberi ruang kepada orang tua dari si kembar.

bundanya menangis di pelukan sang ayah. Orang tua mana yang tidak hancur hatinya bila mendapat kabar bahwa permata mereka yang berharga dilukai hingga terbaring lemah di ranjang pesakitan.

Begitupun Nando yang merasa bahwa ini salahnya segera berlutut di depan orang tuanya dan menangis tersedu seperti bocah.

"B-bunda, Ayahh... Maafin Nando yang gak bisa jaga adek, maafin Nando. Ini salah Nando. Nando bukan kakak yang baik. Harusnya Nando gak akting ngambek ke Nanda, harusnya Nando tungguin Nanda waktu piket. Harusnya Nando bisa jauhin Nanda dari pot yang jatuh itu. Harusnya Nan-"

Perkataan pemuda itu terputus ketika pelukan hangat bundanya terasa membungkus tubuh bergetarnya.

"Bukan salah Nando. Ini kecelakaan. Nando kakak yang baik, kakak yang hebat. Nando anak bunda yang kuat ini bukan salah Nando. Gapapa sayang gapapa." Bunda memeluk anaknya yang menangis merintih itu.

Hatinya merasa sakit ketika anak sulungnya menyalahkan dirinya sendiri atas kesalahan yang tidak diperbuatnya.

Ayah memalingkan wajahnya. Kalbunya yang sedari tadi teremat sebab keadaan anak bungsunya kini makin terasa sesak sebab anak sulungnya. Merasa tidak becus sebagai kepala keluarga, karena gagal menjaga permata mereka.

"A-yah.."

Panggilan serak itu menyadarkannya. Lalu dengan kedua tangannya membawa tubuh bergetar putra sulungnya itu kedalam pelukan.

"Gapapa, bukan salah kamu. Makasih udah jaga Nanda. Ayah bangga sama Nando." Tangan besar kepala keluarga itu mengusap punggung anaknya.

Mereka yang berada di ruangan itu ikut meneteskan air mata. Terlalu terhanyut oleh suasana haru yang dibawa oleh keluarga si kembar itu. Berusaha menutupi air mata yang berlinang dengan menundukan wajah sedalam-dalamnya.

Ayah menoleh kearah Axel dan teman-temannya."Terimakasih sudah menolong Nanda dan Nando. Terimakasih Dian sudah menghubungi pakde. Terimakasih."

Dan dibalas anggukan dari mereka.

"Kalian sudah pada makan?" Tanya bunda.

Lalu dengan ragu dijawab gelengan. Bunda dekati mereka usap satu persatu pucuk kepala mereka. Berikan senyum teduh meski mata pancarkan kesedihan. Lalu usap pipi Axel dan Dian yang basah dengan kedua tangannya.

"Ajak mereka makan di kantin ya? Nanti bunda yang bayarin. Sehabis itu pulang dulu. Ganti baju, baju Axel sama Dian ada darahnya. Buruan dicuci. Besok masih sekolah. Nanti kalau sudah ganti boleh kesini lagi. Tapi harus izin orang tua." Lembut sekali tutur kata bunda. Membuat yang mendengar menjadi tenang dan mengangguk.

Setelahnya para pemuda itu keluar ruangan. Menuruti kemauan bunda.

-tbc-

Haduhhhh aku gk tau knp bisa nulis ini. Awalnya aku bingung mau ku lanjutin gimna ini book. Aku takut book ini bkl garing kalo aku gk bisa bawa book ini. Huhu itu yang bikin aku ngaret sih sebenernya 🤭

Maaf ya kalo kalian kurang suka sama chap ini kalian bisa kasih kritik dan saran kok. Terimakasih 🤗

 Terimakasih 🤗

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Si kembar🤭💜

Enemy? Seriously?Where stories live. Discover now