04 - Demam!

21 4 11
                                    

Shiawasena dokusho^^

🍂🍂🍂

Setelah menerima telepon dari Bunda, aku bergegas menuju rumah Pandu. Sebenarnya, aku lelah karena seharian ini harus mencatat untuknya. Namun, suara Bunda tadi terdengar lelah, tidak tega juga jika aku menolak ucapannya.

Aku berangkat menggunakan ojek. Jarak antara rumahku dengan rumah Pandu cukup jauh. Tiga puluh menit waktu perjalanan yang ditempuh jika menggunakan kendaraan roda dua.

"Neng! Udah sampe, Neng."

"Terima kasih, Pak!" ucapku sembari menyerahkan selembar uang dua puluh ribu dan tukang ojek itu pun berlalu.

Aku menatap rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal Pandu. Mungkin juga dari dulu. Dulu kan, Pandu tinggal bersama kakek dan neneknya. Aku sering ke rumah kakek dan nenek Pandu. Mereka sangat baik, tetapi mereka sudah meninggal saat aku SMP. Ah, aku jadi merindukan mereka.

Sekarang, Pandu hanya tinggal sendiri. Oleh karena itu, Tante Miranda—ibu kandung Pandu—meminta Bunda untuk bekerja di rumahnya, sekaligus menjaga Pandu. Tante Miranda mengurus bisnis di Hongkong, sehingga ia harus menetap di sana. Namun, sesekali ia pulang untuk menjenguk Pandu.

Sedangkan Om Hengki—ayah Pandu—menetap di Jerman bersama Kak Bila—kakak Pandu. Bunda bilang, Tante Miranda dan Om Hengki sudah bercerai, entah karena masalah apa. Padahal, saat aku kecil dulu, mereka terlihat sangat romantis.

"Assalamualaikum," ucapku setelah menekan bel.

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Tentu saja Bunda yang membukanya. Segera saja kusalami tangan Bunda yang sudah keriput itu.

"Waalaikumussalam, Nak. Akhirnya, kamu datang juga. Pandu udah nungguin kamu di atas," ujar Bunda.

Aku hanya mengangguk lalu melongos masuk. Naik ke  lantai dua dan menuju ke kamar Pandu. Anak itu kenapa lagi? Bukannya tadi dia masih baik-baik saja?

Aku membuka pintu kamar Pandu, mendapati dirinya yang tengah terbaring lemah, masih menggunakan seragam lengkap.

"Pandu ...," panggilku pelan.

Ia menoleh, wajahnya memerah karena demam. Aku menghampirinya dan menempelkan tanganku di dahinya. Panas. Itulah yang dirasakan oleh kulit tanganku. Dia bisa demam juga?

"Sini, bangun dulu. Lo harus ganti baju. Gue nyiapin air hangat dulu," ujarku. Ia menahan pergelangan tanganku saat aku hendak berdiri.

"Pusing," ujarnya dengan suaran lemah.

"Lo gak bisa ke kamar mandi sendirian? Mau gue bantuin?" tawarku dan hanya ditanggapi anggukan olehnya.

Akhirnya, aku memapah tubuhnya dan mengantarnya menuju kamar mandi. Tubuhnya panas sekali!

Setelah selesai mengantarnya, aku akhirnya menuju dapur untuk mengambil air hangat dan handuk kecil.

"Bunda, air hangat di mana?" tanyaku pada Bunda yang tengah menyiapkan makanan.

"Itu, Nak. Udah Bunda siapin sama handuknya sekalian. Tadi, Bunda yang ingin mengurusnya, tapi dia menolak. Dia maunya kamu," jelas Bunda.

"Iyah, Bunda. Gapapa. Yaudah, Key ke atas dulu, yah?"

Benar-benar Pandu itu. Kenapa harus aku? Tidak bisakah ia melihatku tenang sedikit saja? Awas saja, akan kumarahi dia habis-habisan karena sudah menyusahkan Bunda.

***

"Pandu? Pandu!?" Kupanggil Pandu beberapa kali, tetapi ia tak menjawab. Apa yang dia lakukan di dalam sana? Kenapa lama sekali?

Jangan-jangan ...?

Brak!

"Pandu—akhhh!" Aku langsung menutup mataku kala melihat Pandu yang bertelanjang dada. Jantungku berdebar sangat kencang. Ini pertama kalinya aku melihat tubuh Pandu.

Aku mencoba mengintip dari sela jari-jariku. Pandu terlihat sangat lemah, buktinya ia hanya duduk di lantai dan seperti sedang menahan sakit. Syukurlah, dia memakai celana, jika tidak ....

Apa yang aku pikirkan, sialan! Pipiku memanas, pasti sekarang memerah. Mungkin, tidak apa-apa jika aku membantu Pandu mengenakan pakaiannya. Aku akan menoleh ke samping, jadi aku tidak akan melihat tubuhnya lagi.

"Lo k—kesusahan pake baju? B—biar gue bantu."

Aku menghampiri Pandu. Tenang saja, aku menolehkan kepala ke samping dan sesekali melirik agar bisa membantunya memakai pakaiannya. Situasi macam apa ini? Ini ... sangatlah canggung. Apakah dia malu? Pipinya memerah, tapi itu karena dia sedang sakit. Berbeda denganku. Aku merasa sangat gugup dan ... malu.

Setelah selesai membantu Pandu, aku kembali memapah tubuhnya dan membaringkannya di king size miliknya. Tak lupa juga, aku mengompresnya agar demamnya turun.

"Makasih, Key," ujarnya.

Wah, impressive. Selama satu minggu ini aku membantunya, dia tidak pernah sekali pun mengucapkan terima kasih.

"Iya, sama-sama."

Ingin sekali aku bertanya padanya, apakah ia masih mengingat persahabatan kami dulu? Apakah ia masih mengingat janjinya dulu? Namun, sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

"Pan. Lo kenapa gak mau diurusin sama Bunda? Lo tau gak, sikap lo tuh bikin Bunda lelah. Apalagi Bunda masih banyak kerjaan," tanyaku.

"Lo bodoh!"

Aku membulatkan mata. Dasar, bahkan saat sedang sakit pun, dia masih sempat-sempatnya menghinaku? Jika tau begini, tadi aku biarkan saja dia tergeletak lemah di lantai kamar mandi sampai dia mati!

"Justru karena Bunda banyak kerjaan, makanya gue panggil lo buat ngurusin gue. Kalo Bunda yang ngurusin gue, ntar kerjaannya makin banyak. Gue gak mau Bunda capek," jelasnya.

Oh, jadi seperti itu. Pandu ada benarnya juga. Tapi tunggu.

"Lo manggil apa tadi sama Bunda?"

"Bunda!"

"Enak aja. Panggil Bunda 'Tante', cuma gue yang bisa manggil Bunda itu 'Bunda', lo jangan!"

Yang benar saja, masa dia ikut-ikutan memanggil Bundaku dengan sebutan 'Bunda'. Memangnya, dia saudaraku? Bunda hanya punyaku!

"Serah gue, lah. Lagian, Bunda sendiri yang minta di panggil gitu," ujarnya.

"Tapi tetep aja. Gue gak suk—"

"Berisik tau gak! Gue mau tidur. Jadi, stop ngeluarin suara cempreng lo itu. Bikin telinga orang sakit aja."

"Yaudah. Tidur sana lo. Gue mau ke cafe dulu," ujarku dengan nada ketus.

"Ngapain?" Pandu kembali membuka mata.

Apa ini? Dia tanya, untuk apa aku ke cafe? Memang aku harus memberitahunya? Penting, kah? Lagipula, bukannya tadi dia menyuruhku diam? Lalu kenapa sekarang dia memulai percakapan lagi?

"Gue ada job di cafe. Bentar lagi mulai," jawabku. Aku sedang tidak ingin berdebat dengannya, makanya kuberitahu saja yang sebenarnya.

"Lo kerja di cafe?" tanyanya, lagi.

"Iyah."

"Kerja apa?"

Tunggu. Kenapa dia bertanya sebanyak ini? Apa karena aku ini pacarnya? Ah, tetapi tidak mungkin. Dia tidak mencintaiku.

"Nyanyi! Udah ah, lo banyak nanya. Ntar gue telat, lagi. Inget yah, kalo udah bangun langsung makan trus minum obat. Jangan banyak tingkah dan jangan nyusahin Bunda!" pesanku sebelum aku menutup pintu kamar. Aku kembali turun ke bawah dan berpamitan pada Bunda. Semoga anak itu cepat sembuh.

___TSUDZUKU___

Ini Bukan Wattpad [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang