Chapter 1

68 3 5
                                    

Aku suka hujan, tapi bukan yang mendatangkan badai.

Aku suka bintang, tapi bukan yang memancarkan cahaya kesedihan.

Aku suka lautan, tapi bukan lautan yang menenggelamkan.

Aku suka kembang api, tapi bukan api yang akan membakar.

Aku suka…

***

6 tahun yang lalu

Di sebuah rumah sakit yang terbilang cukup mewah itu, sepasang surai sewarna tengah duduk risau di bangku tunggu. Yang perempuan tampak memainkan jemarinya yang entah kenapa terasa sangat dingin seolah baru saja memegang balok es.

Jemari mungilnya sesekali meremas lengan kemeja putih yang dikenakan remaja lelaki yang berdiri gusar di sampingnya. Netra yang biasa lembut dan ceria kini memancarkan kesedihan, kecemasan dan segala emosi lain yang tengah berkecamuk. Ditambah dengan pikiran negatif yang sedang menghantui otak pintarnya, membuat gadis itu semakin kalut.

Sementara di sebelah kirinya, seorang remaja laki-laki yang terpaut usia sekitar tiga tahun darinya, berdiri tak tenang. Sama seperti sang adik, anak laki-laki ini juga tak kalah gusar. Terbukti dengan dirinya yang selalu menghela napas sembari meremas jemari hingga buku-buku tangannya memutih. Ditambah bibir bawah yang digigit dan sorot mata khawatir mempertegas kepanikannya.

Namun sebagai seorang kaka, dia harus menguatkan diri agar tidak menangis. Lihatlah adiknya, meski maniknya bergetar, dan mulai memerah hendak menangis, gadis itu mengerjap cepat menghalangi air asin itu menganak sungai di pipi bakpaonya.

Jangan menangis, atau aku benar-benar akan pergi.” Sudut bibir perempuan itu nampak mengeluarkan darah. Wanita itu hanya menatap sendu dua surai perak turunan sang Ayah yang sedari tadi mengiringinya.

“Aku tidak akan memaafkanmu jika kau menangis, Yuuhi, Yushiro.” Ucapan lemah namun tegas itu terus terngiang di telinga keduanya.

“Tidak ada yang boleh menangis. Cukup berdoa dan aku akan baik-baik saja. Mengerti.” Meski lemah, suara itu masih terdengar tegas di indera pendengaran mereka. Selama ini, baik Yuuhi maupun Yushiro tidak pernah membantah apapun perintahnya. Ya, perintah ibu mereka.

Mereka berdua sama gusarnya menunggu di depan ruangan yang bertuliskan Operasi. Lampu penanda yang menyala merah menandakan siapapun yang berada di dalam sana seseorang tengah berjuang hidup mati.

Diliriknya sang adik, meski tak menangis wajahnya terlihat sangat pilu. Siapa pun yang memandang pasti akan tahu bahwa gadis sembilan tahun itu sedang sangat-sangat takut. Tangan si perak yang lebih tua tergerak mengelus surai lembut keperakan itu, mengarahkan kepala si kecil ke arahnya—memeluk kepalanya guna menenangkan meski dia tahu itu sia-sia.

Sementara, seorang wanita bersurai hitam keabuan tengah mondar mandir di depan pintu yang bertuliskan OPERASI itu. Wanita 20 tahunan itu menggigit ujung kuku dan sama sekali tidak bisa terlihat tenang.

“Tenanglah, ibu akan baik-baik saja.” Yushiro berbisik pelan, mengambil tempat di samping adiknya.

“Ibu tidak akan pergi ke tempat Ayah, bukan? Ibu tidak akan pergi bukan? Iya’kan, nii-chan?” Manik biru adiknya telah kehilangan cahaya. Dia berujar lirih seolah tubuh itu tak lagi memiliki jiwa. Tatapannya nanar dan suaranya bergetar, dan jangan lupakan wajah yang dibalut kulit putih itu tampak semakin pucat.

Bạn đã đọc hết các phần đã được đăng tải.

⏰ Cập nhật Lần cuối: Jun 27, 2021 ⏰

Thêm truyện này vào Thư viện của bạn để nhận thông báo chương mới!

Utsukushii HigekiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ