BBMLB 1. Cinta dan Luka

3.7K 299 8
                                    

Karena banyak yang mau Biru dibikin lapak sendiri, oke aku kabulin. Jadi yang di lapak Icha stop ya postingnya. Enjoy it, gaes 🥳
.
.
.

Tahukah kalian apa arti keindahan itu? Keindahan adalah dia. Ya, dia. Wajahnya itu adalah keindahan terhebat yang pernah ditangkap oleh netraku. Bahkan tujuh keajaiban dunia pun tidak ada apa-apanya dibanding wajahnya itu. Bentuk rahangnya yang keras, menunjukkan sifatnya yang tegas dan tak terbantahkan. Patahan hidungnya yang sempurna, membuatku merasa iri karena bentuk hidungku yang mancung ke dalam.

Kedua iris mata berwarna hitam pekat yang selalu menatap tajam dan mengintimidasi saat dia tidak setuju akan sesuatu, atau saat sedang marah padaku. Kedua alis tebalnya yang hampir menyatu, dan sering dia angkat sebelah saat tak ingin bertanya menggunakan lisan padaku. Terakhir, bibir merah kecoklatan yang sering melengkung sempurna ke atas, namun kadang membentuk garis lurus.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah Tuhan sedang dalam suasana bahagia saat menciptakan makhluk di sampingku ini sehingga parasnya sedemikian sempurnanya? Dan tahukah kalian apa arti kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah saat aku duduk di sampingnya, berdampingan berdua di atas hamparan rumput pinggir danau dan memandangi lekat-lekat wajahnya tanpa ada yang mengganggu. Hanya berdua. Aku dan dia.

Seperti hari itu.

"Tumben ajak aku ke sini?" tanyaku, setelah lama kami hanya terdiam dan terhanyut dalam pikiran masing-masing.

"Aku mau bicara." katanya. Datar.

Aku terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa harus ke sini? Di rumah kan bisa? Atau ... ada rahasia yang nggak ingin sampai orang rumah tahu?" tebakku, setengah bercanda.

Dia tak menyahut, membuatku berhenti terkekeh. Saat kutolehkan kepala ke arahnya, dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Memandang ke danau sambil sesekali melemparkan kerikil kecil menciptakan bunyi kecipak dari danau itu.

"Apa benar-benar sesuatu yang penting?" tanyaku, kali ini serius.

Sekali lagi, dia mengambil kerikil di dekatnya dan melemparkannya ke permukaan danau. Bunyi kecipaknya lebih nyaring kali ini, dari pada sebelum-sebelumnya.

"Menurut kamu, apa itu cinta?" tanyanya. Masih dengan pandangan ke depan.

Aku tertegun. Baru kali ini dia menanyakan hal seperti itu padaku. Hal yang sebenarnya lazim ditanyakan oleh anak muda seperti kami, namun kurasa cukup aneh jika pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Cukup lama aku terdiam, memandangi lingkaran-lingkaran di permukaan danau yang terbentuk akibat kerikil yang barusan dilemparkan oleh dia.

"Cinta adalah mengagumi," jawabku.

"Maksud kamu?" tanyanya tanpa menoleh padaku yang justru membuatku semakin leluasa untuk memandangi wajahnya dari samping.

"Iya. Mengagumi. Kagum akan pribadinya. Kagum akan suaranya. Kagum akan tawanya. Kagum akan senyumnya. Kagum akan harum tubuhnya. Semuanya. Mencintai berarti mengagumi meski mengagumi tidak mesti berarti mencintai," ucapku memandangnya tanpa berkedip.
Sejenak aku berharap bahwa dia mungkin akan menyadari apa yang ku ucapkan tulus dari hati itu.

"Kamu sudah pernah jatuh cinta?" tanyanya saat itu.

"Bukan hanya pernah. Tapi sampai sekarang pun aku masih jatuh cinta."

Mungkin saat itu adalah waktunya untuk dia mengetahui semuanya. Tentang perasaanku. Mumpung dia membicarakan tentang hal seperti itu dan kapan lagi aku bisa mengutarakan isi hatiku padanya? Itu yang kupikirkan saat itu. Belakangan aku menyesal setengah mati karena mengatakannya saat itu.

"Siapa?" Akhirnya dia menoleh ke arahku, namun tatapannya itu membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Aku terdiam. Tiba-tiba lidahku kelu dan mati rasa. Aku hanya menatapnya, tanpa mampu membuka suara. Dan tatapannya semakin tajam dan mengintimidasi.

"Kamu jatuh cinta padaku?"

Empat kata. Ya, empat kata itu mampu membuatku tak berkutik sama sekali. Aku hanya terdiam dengan bibir bergetar dan pelupuk mata yang semakin memanas. Bahkan sebelum aku berhasil mengutarakannya sendiri, dia sudah mengetahuinya. Dia tidak mungkin bercanda, karena dia tidak pernah bercanda.

"Jadi benar kamu cinta aku?" tanyanya lagi, tajam.

"Dari mana kamu tahu?"

Dia spontan berdiri, menunduk menatapku tajam dengan bahu naik turun. Dia marah. "Kamu sudah gila?!"

Aku berdiri. "Kenapa gila?"

"Cintamu itu gila!"

"Kenapa? Bukankah cinta itu anugerah? Lalu kenapa itu bisa disebut gila waktu aku mencinta?"

"Karena itu aku. Obyek cintamu itu aku. Dan itu adalah sebuah kegilaan."

"Aku nggak gila. Cintaku .nggak gila," tekanku.

"Tentu saja gila! Selamanya kita nggak akan pernah bisa saling mencintai, kamu tahu itu!"

"Aku nggak butuh saling mencintai. Aku cuma ingin mencintaimu. Persetan apakah kamu mencintaiku atau nggak!" emosiku mulai naik dan dia juga.

"Berhentilah mencintaiku."

"Nggak bisa!"

"Itu bukan cinta. Itu hanya obsesi. Kamu nggak cinta padaku. Kamu hanya menginginkan sosok sepertiku yang bisa menjagamu sebaik aku."

"Apa itu salah?"

"Tentu saja salah. Bahkan dunia pun nggak akan pernah merestui cintamu."

"Aku nggak butuh restu dari dunia buat cinta sama kamu. Bahkan aku nggak minta balasan dari kamu."

"Berhentilah kumohon," lirihnya.

"Nggak akan!"

Dia mengumpat kesal dan menatapku sangat tajam. "Baiklah. Lakukan apa pun sesukamu."

Dan tahukah kalian apa arti sakit itu? Sakit adalah saat menatap punggungnya yang semakin menjauh diiringi rintik hujan yang perlahan mengguyur lukaku yang basah. Perih. Luka itu adalah luka pertama yang tergores atas namanya.

Dan luka itu abadi.

Hari itu adalah terakhir kali kami bicara berdua. Karena setelahnya, dia selalu menjauh dan menjaga jarak dariku. Menghindari cintaku. Menghindari perasaan yang kuanggap anugerah namun merupakan sebuah kesalahan baginya. Sebuah kesalahan. Karena aku mencintai kakakku.

Kakak kandungku. Banyu Samudera.

***

Banyu Biru: My Lovely Brother (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang