"Kembali kamu orang pucat!" suara mereka semakin cepat menghampiri anak perempuan itu.

"Kamu harus mati! Kamu menyusahkan kami!" teriakan mereka semakin mengerikan ditelinga anak perempuan.

"Aku harus lari, aku tidak mau mati!" ucapnya dengan tekad yang kuat. Tetapi belum sampai ia disekolah sang kakak, ia sudah terjatuh di pinggir rell kereta dengan lemas. Ia berusaha bangkit dengan sisa kekuatanya untuk berdiri, tapi segerombolan anak laki-laki itu datang dan mengepungnya.

"Orang pucat ... Orang pucat ..." suara nyaring itu membuat anak perempuan ketakutan, ia menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tanganya.

"Hentikan, aku mohon hentikan!" anak perempuan itu menangis tersedu-sedu, namun suara mereka semakin kencang, tak peduli dengan anak perempuan yang memelas memohon ampunan.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara kereta api yang mendekat kearah mereka. Ide gila pun muncul dari salah satu anak laki-laki.

"Kita dorong orang pucat ke rell!" serunya dengan semangat.

Mendengar hal itu, anak perempuan berusaha untuk kabur. Tetapi, tangannya ditarik dan ia didorong ke rell kereta. Ia menjerit ketakutan, badan gemetar dengan kencang, jantungnya berpacu dengan cepat, ia berharap ada seseorang yang menolongnya. Tapi harapan itu sirna karna kereta melaju semakin dekat kearahnya yang berdiri dengan lemas, lututnya terluka dan darah menetes dengan deras hingga mengeluarkan bau anyir.
Ia membeku ditempatnya berpijak, sembari menatap ajal yang menjemputnya. Ia pasrah karna tubuhnya sudah lemas dan sulit digerakan.

Segerombolan anak laki-laki tadi pun sudah pergi jauh ketepian rell, sembari tertawa terbahak-bahak melihat anak perempuan yang lemah menunggu kematian yang jaraknya semakin dekat.

"Ya Allah, apa kesalahanku pantas mendapat ini? kenapa mereka berbuat buruk padaku? Ya Allah aku takut kalau mati sekarang. Tolong aku Ya Allah!" batinya menjerit meminta pertolongan sangkuasa.

Klakson kereta semakin terdengar jelas, ia pun mulai menutup mata dengan pasrah jika tubuhnya akan terpental jauh dan remuk terlindas kereta yang cepat. Setidaknya nanti hidupnya akan bahagia, tidak ada derita yang harus ia terima setiap waktu. Mungkin Allah ingin hidupnya berhenti sampai disini. Tetapi sepasrah apapun ia, anak perempuan itu masih berharap ada yang menolongnya.

"Ya Allah selamatkanlah aku."
Tak lama dari itu angin berhembus semakin kencang dan tubuh anak mungil itu terhempas ke pinggir rell. Ia merasakan lututnya berdenyut nyeri, badanya menghantam bebatuan kecil dipinggir rell. Apa ia benar-benar sudah mati? Ia belum juga membuka kelopak matanya. Hingga suara anak laki-laki terdengar di gendang telinganya.

"Hey, kamu gak apa-apa?" iris anak perempuan itu pun terbuka.

Pandangan pertama yang ia lihat adalah anak laki-laki berseragam sekolah persis seperti milik kakak laki-lakinya. Anak perempuan itu melihat dagu anak laki-laki itu robek hingga kearea bibir dan mengeluarkan darah segar yang sangat banyak melebihi lututnya yang terjatuh tadi.

"Apa aku masih hidup?" tanya anak perempuan itu dengan raut wajah bingung.

"Ya, aku yang menolongmu tadi." jawab anak laki-laki yang terduduk lemas disebelah anak perempuan.

Tak lama dua anak laki-laki lain datang menghampiri dengan tergesa-gesa, yang satu berkaca mata bulat dan yang satu lagi menggunakan iket khas Bali.

"Zeus, kamu teu ku nanaon?" tanya anak berkacamata dengan raut wajah panik melihat darah segar yang bercucuran.

"Kita bawa Zeus ke rumah sakit aja cuk!" seru anak beriket Bali itu, sembari memapah anak bernama Zeus.

"Tunggu ..." Zeus meminta teman-temanya untuk berhenti berjalan. Ia berusaha mendekati anak perempuan yang terkapar lemas itu.

ASTRAPI (ON GOING)Where stories live. Discover now