Relationship Goals?

Start from the beginning
                                    

"Iya, lo mungkin biasa aja ke dia, tapi kita nggak pernah tahu perasaan dia ke lo gimana, Del!" sahut Juna tetap tak mau mengalah.

Mulai lelah, Edel memilih menghela napas panjang. Ia mengusap kasar air mata yang membanjiri pipi mulusnya. Ditatapnya sang kekasih penuh dengan kemarahan.

"Ya udah. Terserah kamu kalau kamu masih mau marah, yang pasti aku udah jelasin semuanya ke kamu. Makasih udah anter pulang," ucapnya kemudian melepas sabuk pengaman dan melangkah keluar.

Air mata tak henti mengucur dari pelupuknya. Mengabaikan tatapan penjaga kost yang baru saja muncul dari halaman belakang. Gadis itu terus melangkah memasuki kamarnya yang berada di lantai dua. Menutup pintu kasar lalu menangis terisak seraya menjatuhkan tubuhnya pada kasur.

Sementara Juna menatap kosong pada kepergian Edel. Ia memperhatikan bagaimana gadis itu melangkah dengan kesal seraya terus mengusap mata serta pipinya. Ada rasa nyeri di dalam dada melihat gadis itu menangis. Lagi-lagi karena ulahnya.

***

Edel terbangun pukul tujuh malam. Ia menyadari sudah tiga jam ia tertidur sejak masuk ke kamar usai pertengkarannya dengan Juna di mobil tadi. Gadis itu membongkar tasnya guna mencari keberadaan ponsel. Berharap ada setidaknya panggilan atau satu pesan singkat dari Juna.

Nihil. Ponsel itu hanya menampilkan layar kosong berhiaskan potret dirinya bersama Juna sebagai layar kunci. Kemudian ia menekan beberapa tombol dan mulai mencari kontak Juna dalam aplikasi pesan singkat.

Membaca ulang deretan pesan mereka beberapa hari terakhir. Bahkan semua masih baik-baik saja tadi pagi. Juna masih mengantar dirinya seperti biasa, dan mereka sarapan bersama. Namun, semua menjadi kacau hanya karena kecemburuan Juna yang menurutnya berlebihan.

Tengah asik men-scroll layar, Edel dibuat kaget akan bunyi pemberitahuan pada ponselnya. Satu pesan masuk dari Juna membuat otomatis terbaca saat dirinya tengah membuka room chat mereka.

Maaf

Satu pesan singkat yang Juna kirim mampu menghangatkan hatinya. Ia tersenyum tipis lalu segera membalas pesan itu. Maaf juga.

Tidak butuh waktu lama, Juna segera menghubunginya melalui panggilan telepon. Edel buru-buru bangun dan mengusap wajahnya yang kusut karena air mata dan bangun tidur. Meski hal yang sia-sia karena di sana Juna tak dapat melihatnya.

Ia buru buru menekan tombol hijau lalu menempelkan ponsel pada telinga. Menyambut sapaan halo dari ujung sana yang terdengar begitu lembut. Sangat berbeda jauh dari beberapa jam lalu saat mereka bertengkar.

"Kenapa baru telepon?" tanya Edel dengan suara dibuat buat seolah tengah marah dan kesal pada kekasihnya. Namun, yang ia dengar hanya kekehan Juna di ujung telepon.

"Maaf, tadi aku ketiduran," jawab Juna melalui ponselnya. Pemuda itu dapat membayangkan saat ini kekasihnya tengah cemberut di bali layar ponsel.

"Jangan cemberut, nanti cantiknya hilang," celetuk Juna yang berhasil membuat Edel tersipu di tempatnya.

"Kamu udah makan?" Tanpa menunggu respons Edel, Juna lebih dulu bertanya pada gadis itu, meski ia sudah tahu jawabannya.

Edel menggeleng, lalu menjawab pada panggilan telepon, "Belum, tadi aku ketiduran juga."

Juna tersenyum meski Edel tak dapat melihatnya. "Ya udah, sini turun. Aku bawain makanan buat kamu," ujarnya terdengar begitu manis hingga membuat Edel bergegas lompat dari tempat tidur. Ia melihat dari balik jendela, memastikan ucapan Juna.

Benar saja. Mobil hitam itu sudah bertengger di depan gerbang kostnya. Ia buru-buru menjawab dan mematikan panggilan. Berjalan keluar menghampiri sang kekasih. Tanpa tahu bahwa pemuda itu tidak pulang sama sekali sejak pertengkaran mereka tadi sore.

Juna memilih diam memperhatikan Edel yang berjalan kesal memasuki kostnya. Pandangannya lurus ke lantai dua di mana jendela kamar Edel terlihat terang beberapa saat setelah gadis itu masuk ke dalam.

Tirai putih tipis yang menampilkan bayangan gadis itu tengah telungkup di atas tempat tidur membuatnya nyeri. Ia membayangkan Edelnya sedang menangis tersedu di dalam sana. Namun, setelah beberapa jam tak terlihat pergerakan dari wanita itu, baru ia menyadari bahwa gadisnya tertidur usai menangis.

Juna merutuki dirinya sendiri yang memiliki sifat sumbu pendek. Ia sadar berkali kali menyakiti Edelnya hanya karena emosi sesaat yang tak dapat ia bendung. Selama hampir tiga jam, Juna lakukan untuk merenungi kesalahannya. Hingga sebuah inisiatif muncul saat melihat foto gadis cantik dalam galeri ponselnya.

Edelnya sangan menyukai menu pada restoran cepat saji. Ia ingat betul, Edel sering kali membeli menu yang sama saat mood-nya sedang buruk. Maka sebagai permintaan maaf, Juna berinisiatif memesan makanan itu untuk Edel saat gadis itu terbangun nanti.

"Sayang, maafin aku, ya? Aku sering banget nyakitin kamu," ucap Juna seraya mengusap lembut rambut cokelat milik Edel. Gadis itu masih sibuk mengunyah suapan terakhir pada burger di tangannya.

Dengan sigap Juna meraih gelas minuman soda untuk diberikan pada Edel. Gadis itu tersenyum manis, menerima lalu meminum hampir setengahnya. Ia meletakkan gelas kemudian beralih menatap mata tajam milik Juna.

"Maafin aku juga, masih belum bisa cepet ngertiin kamu," ujar Edel menanggapi ucapan Juna barusan. Namun, satu kalimat dari bibir tipis pria itu membuatnya tercekat hingga terdiam beberapa saat.

"Kita putus aja, Del. Aku nggak bisa nyakitin kamu lebih dari ini."

"Juna? Sayang? Kamu bercanda 'kan?" tanya Edel, tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. Namun Juna menggeleng sebagai jawaban.

"Aku serius, Del. Aku udah mikirin ini baik-baik. Aku udah terlalu sering bikin kamu nangis, dan hatiku sakit lihat kamu begitu. Jadi sebaiknya kita udahan aja, ya?"

Edel menggeleng kuat. Bulir air mata mulai menggenang pada sudut matanya. "Nggak! Aku nggak mau putus, Juna! Kamu tahu 'kan, aku sayang banget sama kamu."

"Iya, Sayang. Aku juga sayang banget sama kamu, tapi aku nggak mau hubungan kita terus berlanjut dengan saling nyakitin kayak gini."

Lagi-lagi Edel menggeleng. "Nggak. Kita bisa kok, perbaikin ini semua. Aku janji bakal lebih ngertiin kamu lagi, aku janji nggak akan bikin kamu—"

"Stop, Edel! Kamu berhak bahagia, Sayang. Kamu berhak dapat cowok yang lebih baik dari aku."

"Tapi aku bahagianya sama kamu," jawab Edel sambil terisak. Kali ini ia tak dapat lagi membendung air matanya.

"Maaf, maafin aku, ya? Kamu pikirin baik-baik, ya? Kamu nggak sepenuhnya bahagia kok, sama aku. Aku yakin, perasaan itu cuma karena terbiasa aja. Nanti kamu juga akan terbiasa saat nggak ada aku lagi di samping kamu."

"Gimana bisa, Jun? Gimana aku bisa terbiasa saat aku udah terlalu bergantung sama kamu?"

Juna meraih tangan mungil Edel. Mengusapnya lembut berharap dapat mengurangi rasa perih pada hati gadis itu. "Maafin aku. Pelan-pelan, ya? Kita coba untuk terbiasa sendiri. Aku juga akan berusaha kuat kok, tanpa kamu."

"Tapi, Jun—"

"Aku pamit, ya? Itu ada cokelat kesukaan kamu, nanti makan, ya. Biar mood-nya bisa baik lagi." Juna berdiri lalu menunduk untuk mendekat pada Edel yang duduk terdiam dengan derai air mata di pipinya. Ia mengecup puncak kepala gadis itu cukup lama sebelum pergi meninggalkannya seorang diri. Membiarkan Edel larut dalam tangis akan kepergiannya.

End


Yeaaaayyy ... hasil gabut nggak bisa tidur akhirnya jadi juga curahatan nggak jelas ini Wkwkk

Have a nice day💕

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 06, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Things that you (might) likeWhere stories live. Discover now