"Iya..."

Tubuh kecil itu kembali menangis dalam pelukan Haechan.

Ia tidak akan mengatakan, "jangan menangis, anak laki-laki tidak boleh menangis." Itu tidak benar.

Laki-laki ataupun perempuan sama saja, jika mereka terluka/merasa sakit tentu mereka berhak untuk mengeluarkan air matanya.

Biasanya tujuan orangtua mengatakan itu agar anak-anaknya menjadi kuat. Tapi justru itu bisa saja membuat mereka menjadi rapuh.

Terlalu banyak emosi yang dipendam tanpa bisa diluapkan.

"Ayo kita obati lukanya."

Hanya senyum lebar yang Haechan berikan saat ratu Renjun menatapnya dengan wajah yang menyeramkan tetapi tetap menawan.

Ia kesal karena anaknya terluka. Tidak, bukan berarti ia menyalakan Haechan sebagai penyebab anaknya luka.

Hanya saja ia merasa sakit saat pangeran kecilnya terluka. Tau bukan bagaimana perasaan seorang ibu itu.

"Aku tau kau khawatir, dia baik-baik saja Renjun. Pangeran kecil itu sangat luar biasa."

"Aku tau. Tapi sebagai seorang ibu aku hanya merasa, entahlah, kau mengerti bukan?"

"Aku mengerti."

"Bagaimana kau bisa mengerti?"

"Tentu saja karena bersama dengan anakmu terus, sepertinya jiwa keibuan ku mulai muncul."

"Ahh, jadi kau sudah siap menjadi seorang ibu ya?"

"Kau mulai menyebalkan."

Renjun tertawa begitu melihat Haechan yang pergi dengan wajah tertekuknya.

Ratu itu menggemaskan. Ia jadi terbayang bagaimana wajah pangeran kecil hasil perbuatan ratu Haechan dan raja Mark.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Apa kalian membuatnya selalu seperti ini?"

"Iya ratu."

"Tapi lebih baik jika kalian mencampurnya terlebih dahulu agar semua tercampur. Baru setelah itu masukkan bahan pelengkapnya."

Tangannya bekerja dengan begitu lihainya. Tidak sama sekali merasa kesulitan.

Haechan memang sering membantu urusan dapur, tapi tetap mereka merasa tidak enak. Harusnya ratu itu berdiam diri dan menikmati saja semuanya, tidak boleh menyulitkan diri dengan berada didapur seperti sekarang ini.

MARK✓Where stories live. Discover now