Chapter 2: The Gift

12 2 0
                                    

Walaupun di belakang namanya sudah disematkan gelar sarjana., Alei tetap menjalani kehidupannya seperti biasa. Dia tetap jadi Alei yang selalu bangun pagi-pagi, membantu mama belanja ke pasar, masak, dan beres-beres rumah. Hari ini memang special, tapi bukan karena gelar yang kemarin resmi dia dapatkan. Hari ini special untuk Alei karena ... dia kembali tinggal satu atap dengan Riho! Membayangkannya saja bisa membuat pipi Alei memerah. Padahal, dia sudah tinggal bersama Riho selama bertahun-tahun dalam satu rumah yang sama. Ini pasti karena perpisahan yang panjang.

Katanya, perpisahan membuat perasaan menjadi lebih kuat. Benar gak, sih? Alei merasa dia malah makin insecure.

Alei memandang sebentar telur balado dalam piring yang baru saja dia letakkan di atas meja. Dia tersenyum puas karena telur itu terlihat sempurna. Belum sempat Alei berbalik untuk mengambil sayur, sosok Riho sudah muncul di ujung anak tangga.

"Met pagi!" sapa Alei ceria.

"Pagi!" balas Riho ramah.

"Pas banget ini telur baladonya baru jadi. Sayurnya tinggal aku pindahin bentar dari panci."

Riho buru-buru mencegah Alei dan mama yang mau mempersiapkan sarapan untuknya, "Aku sarapan di luar."

Senyum yang daritadi tercetak di wajah Alei perlahan memudar. Sembilan bulan mereka tidak berkumpul dan pria itu memutuskan untuk dimiss sarapan pertama mereka? Tentu saja Alei hanya menyikapi hal itu dengan diam walau hatinya ingin protes. Mungkin pria itu punya alasan tersendiri. Ya, Riho selalu punya alasan.

Berbeda dengan Alei, mama langsung ngomel, "Gak! Memang ga bisa sempatin makan sebentar di rumah?"

Riho yang sudah tahu bakal kena semprot langsung menjawab, "Banyak potential networking yang mau ketemu hari ini. Berhubung aku cuma tiga hari di Bandung dan nanti malam kita punya family dinner, ya mau gak mau aku harus ketemu sama mereka mulai dari pagi gini, Ma."

Mama lanjut mengomeli Riho yang dianggap gak care dengan keluarga dan gak menghargai usaha Alei bangun pagi untuk masak. Well, sebenarnya Alei kan memang selalu bangun pagi untuk masak, no matter what. That's not a big deal for her. Masalahnya, mereka semua punya ekspektasi untuk sarapan bersama pagi itu. Tak disangka, Riho ternyata punya agendanya sendiri.

Alei memutuskan memasukkan makanan ke kotak bekal sementara mama dan Riho sibuk berbalas kata. Setelah semua lauk dan nasi sudah masuk ke kotak bekal, Alei menengahi mama dan Riho.

"Udahlah, Ma. Yang penting nanti malam Riho bisa ikut family dinner. Iya, kan?" Alei bicara sambil menyerahkan kotak bekal itu pada Riho. Alei menanti Riho mengambil kotak bekal itu dan menjawab pertanyaannya.

Awalnya Riho menatap kotak makan itu dengan tatapan ogah. Dia merasa ide bekal dari Alei agak konyol. That was still cute when they were students, but after that? Pada akhirnya diambilnya juga kotak bekal itu karena melihat tatapan Alei yang sendu dan tatapan mama yang seperti ingin menggorok lehernya jika lagi-lagi dia berulah.

"Thanks for the box and ... yup, I will come for the dinner!"

Riho berjalan ke mundur dan kemudian berbalik pergi.

Tiba-tiba terdengar suara Ziel yang kesal karena hanya melihat telur balado di atas meja. Alei memutar bola matanya dan segera berbalik. Dia mencubit pinggang adiknya yang muncul tiba-tiba itu.

"Yang Mulia pikir masak rendang semacam masak telur ceplok?" Alei melangkah ke depan kompor dan melanjutkan pekerjaannya memindahkan sayur dari panci ke piring.

"Kalau musti masak rendang buat sarapan, Alei musti masak dari jam 4 pagi!" Mama mengomeli Ziel. "Sabar sampai nanti malam, El!"

"Tapi beneran ada, kan?" tanya Ziel sumringah.

The Life We Never ExpectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang