1. A Fine Man He is

1.8K 155 7
                                    

Udara segar kota Incheon yang belum bercampur polusi ia hirup dalam-dalam pagi itu, tepat setelah ia menuruni burung besi yang menaunginya selama berjam-jam.
Lelaki itu, Jeon Wonwoo, baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi dan pendidikan profesinya di sebuah universitas terkenal di negara tetangga, negara tirai bambu.
Dan kedatangannya pagi ini di bandara Incheon, merupakan kali pertama ia menginjakkan kaki kembali di tanah kelahiran setelah lebih dari 6 tahun merantau.

Kematian sosok tersayang yang melahirkannya saja tidak berhasil membuatnya pulang dua tahun yang lalu.
Apalagi jika -hanya- sebatas liburan musim panas dan musim dingin, jelas sama sekali tidak penting baginya.
Karena satu-satunya yang krusial dalam hidup Wonwoo, begitu orang-orang memanggilnya, hanyalah cita-cita yang tercapai, pekerjaan tetap yang ia impikan, dan juga kehidupan yang stabil. Oh, ternyata terlalu banyak untuk disebut sebagai 'satu-satunya'.

Maka dari itu setiap waktu yang ada ia manfaatkan sebaik mungkin untuk belajar, belajar, dan belajar, hingga gelar dokter berhasil ia raih dengan tepat waktu.
Ia tidak punya pemikiran untuk buang-buang waktu dan juga tenaga dengan memperbanyak teman, apalagi berkencan-tidak, terutama berkencan. Jelas kata itu adalah kata terakhir yang terpikir oleh Wonwoo ketika dirinya memutuskan untuk pergi dari Korea Selatan.

Dan 6 tahun di Beijing ia habiskan sendirian..
Atau mungkin juga tidak?
Karena teman lamanya semasa sekolah menengah cukup sering menghubunginya, menanyakan keadaannya, dan berbagi beberapa penggal cerita di kala ia suntuk dengan deretan kasus yang harus ia pelajari.

"Wonwoo-ya!"

Dan teman lama itu kini datang menyambut kepulangannya di bandara Incheon.

Setelah membetulkan letak kacamata di hidungnya, dan mengeratkan pegangannya pada troli yang bermuatan koper-kopernya, dirinya melangkah keluar dari ruang kedatangan.

Senyumnya terbit saat melihat tiga sosok yang melambaikan tangan ke arahnya.
Oh lebih tepatnya dua, karena yang satu sibuk melipat tangan di dada sembari menampilkan tatapan galak seolah ia berniat memakan Wonwoo hidup-hidup.

Pegangan pemuda Jeon itu pada trolinya terlepas ketika dua sosok yang melambaikan tangan tadi memeluknya.

"Wahh sudah lama sekali.."

"Kau semakin kurus saja, dasar."

Dua kalimat yang mencerminkan rindu itu diabaikan oleh si lelaki berkacamata.
Ia sibuk menatap geli sosok yang masih merajuk di belakang sana.

"Kau tidak ingin memelukku juga?
Jihoon?"

Sosok yang dipanggil Jihoon berdecak pelan, kemudian mendekat dengan menghentakkan kakinya kasar sebelum lengannya bergerak memeluk Wonwoo. Perlu diketahui, ia sempat menjitak kepala pemuda Jeon itu sebelumnya..

"6 tahun sialan! Kau tidak pulang selama 6 tahun.. kenapa tidak sekalian hidup disana saja selamanya? Huh?!"

Wonwoo terkekeh mendengarnya.
"Maaf.. aku hanya ingin menyelesaikannya dengan cepat agar dapat segera bertemu dengan kalian lagi."

"Omong kosong! Kau bahkan tidak mengizinkan kami menemuimu di hari wisudamu!"

Lagi, tawa kecil Wonwoo terdengar.

Ia punya alasan mengapa dirinya melarang semua orang selain sang Abeoji untuk mengunjunginya di Beijing ketika dirinya wisuda sebanyak 2 kali. Apalagi jika bukan ketidakinginan akan tekadnya yang goyah jika ia bertemu mereka. Wonwoo harus sukses dahulu sebelum bertemu dengan teman-temannya lagi.. itulah tekad api yang pemuda itu bawa ketika pergi 6 tahun yang lalu.

Dan jika mengingat bagaimana dinginnya lelaki di pelukannya ini saat pertemanan mereka belum sedekat ini--dulu sekali, ia tidak pernah mengira hubungan mereka akan tumbuh seerat ini.
Melebihi kedekatannya dengan dua lelaki yang memasang tampang cengo di belakang sana.

If I | Woncheol [Completed]Where stories live. Discover now