Bab 36

59.3K 1.6K 62
                                    

Bab 36

Mungkin kita memang tidak berjodoh. Mungkin takdir kita hanya sampai di sini.

Dari ekor matanya, Hazel mengikuti pergerakan Marvin yang keluar dari walk in closet setelah berpakaian lengkap.

“Good morning,”

Marvin mengecup keningnya. Sebuah kebiasaan baru yang selalu membuat Hazel bahagia.

“Kamu pulang jam berapa? Aku mau nungguin kamu, tapi malah ketiduran.”

“Sekitar jam tiga. Maaf udah bikin kamu nunggu.“

Hazel sebetulnya ingin menanyakan apa keperluan Marvin sampai harus pulang selarut itu. Namun, dia mengurungkan niat hingga tidak ada satupun pertanyaan terlontar dari mulutnya. Marvin pasti punya urusan darurat yang tidak bisa ditinggalkan.

Tapi melihat Marvin begitu rapi sepagi itu, mau tidak mau Hazel jadi bertanya-tanya juga, apakah hari itu Marvin akan keluar rumah lagi.

“Kamu mau pergi?” Hazel menepuk pelan bantal di pangkuannya.

“Iya. Aku mau ngajak kamu jalan-jalan.”

“Memangnya kita mau ke mana?”

“Kemanapun kamu mau. Asal bukan ke tempat-tempat yang berbahaya untuk ibu hamil seperti Dufan.”

Hazel tergelak. Dia lalu mulai memikirkan tempat-tempat tujuan yang menyenangkan. Semalam mereka sudah nonton film. Mau ke pantai, Hazel tidak menyukai angin pantai yang terkadang bertiup terlalu kencang. Lagipula pantai bukan destinasinfavoritnya.

Mall?

“Kita ke mall saja.”

“Mall?” Awalnya Marvin terlihat skeptis, tapi kemudian dia mengangguk setuju.

“Aku pengen shopping.”

Hazel mengakui dalam hati. Tiba-tiba saja keinginannya untuk memborong seisi mall tercetus begitu saja.

Marvin mengecupnya.

“Kalo gitu, aku harus nyiapin budget yang banyak buat kamu.”

“Aku cuma mau cuci mata kok.” Hazel menentang macam-macam keinginan dalam dirinya.

“Really? Firasatku, kamu bakal borong banyak barang.”

Hah? Kok Marvin bisa tahu?

“Karena kamu kelihatannya antusias banget mau ke mall,” lanjut Marvin. Mengecup keningnya untuk kesekian kali.

“Ya sudah. Kamu tunggu di bawah. Aku mau siap-siap.”

                                                            *** 

Untuk usia kehamilan yang masih muda, Hazel masih belum berniat mengenakan pakaian longgar. Di depan cermin, perutnya juga masih kelihatan rata. Jika dilihat sekilas, memang tidak ada tanda-tanda kalau kini sudah ada janin yang hidup di dalam rahimnya.

Mungkin sesekali masih ada perasaan enggan terhadap makhluk kecil itu.  Seiring berjalannya waktu, dia bisa mencoba belajar menyayanginya.

Di sampingnya, Marvin terus menggenggam tangannya. Terlihat posesif dan protektif. Beberapa menit lalu ketika mereka baru tiba di depan pintu, Marvin bahkan menggiringnya untuk menghindari berjalan di dekat sosok-sosok yang memungkinkan resiko Hazel tergencet atau tersenggol. Anak kecil dan orang-orang yang berjalan tidak sabaran. Sekali, seorang remaja tanggung tidak sengaja menyambar lengan Hazel, Marvin langsung menegurnya dengan sedikit marah.

Inikah laki-laki yang sama dengan  laki-laki yang telah membuatnya pernah terluka? Inikah Marvin yang memang sudah benar-benar berubah?

“Anak sekarang ya. Bisa nggak sih jalannya nggak grasak-grusuk kayak banteng?” Marvin masih terdengar menggerutu.

“Salahku juga, milih mall buat tempat jalan-jalan. Lagian cuma tersambar dikit.” Hazel mencoba menenangkan.

“Iya, tapi coba aku nggak negur. Bisa-bisa tadi dia nyenggol perut kamu.”

“Namanya  juga mall. Wajar kan desak-desakan?” Hazel tidak bisa menahan diri untuk tertawa.

“Next time. Aku nggak bakal ngijinin kamu ke mall.” Marvin terlihat bersungguh-sungguh.

“Trus gimana kalo aku mau belanja kebutuhan dapur?”

“Aku udah hire asisten rumahtangga. Nanti biar dia yang ngurus semua keperluan rumah. Gampang kan?”

“Serius?”

“Serius. Kamu lagi hamil gini, harus ada yang ngawasin.” Marvin mengulum bibirnya. “Except. Kalo kamu mau ikut aku ke Lembang.”

“Aku kan masih kerja.” Hazel beralasan. Astaga. Dia belum siap jika harus ikut Marvin ke Lembang. Di Jakarta sudah cukup nyaman untuknya.

“Kan bisa ngambil cuti.” Marvin menatap Hazel serius. “Atau kamu berhenti kerja di sana.”

“I love my job, Marv. Cuma karena aku lagi nggak sehat aja, makanya sering izin. Tapi minggu depan, aku siap kerja lagi.”

“Aku nggak setuju.”

Hazel langsung menghentikan langkah.

“Nggak setuju gimana?”

“Selama hamil, kamu nggak boleh kerja.”

“Jangan berlebihan deh, Marv. Aku masih sanggup kerja. Aku masih kuat.”

Hazel's Wedding Story (First Sight) SUDAH DIBUKUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang