Bab 16

133K 1.6K 24
                                    

                                                                                        Bab 16

                Hazel masih berdiri di halaman dengan kekaguman yang besar kepada villa itu. Rancangan arsitektur bangunannya benar-benar indah jika dipandang dari segala sisi. Dia jadi bertanya-tanya siapa yang merancang villa bergaya klasik tersebut.

                “Lo mau masuk ke dalam, atau mau tetap tinggal bengong di sini?”

                Marvin sudah berdiri di belakangnya, begitu dekat hingga Hazel bisa merasakan hembusan napas hangat Marvin di pipi kanannya. Marvin hendak mengecup bahu kanannya, tapi Hazel cepat-cepat menjauhkan badan dan melirik Marvin dengan tajam. Marvin hanya tersenyum, menikmati penolakan Hazel dengan mengangkat ke dua bahunya.

                “Gue suka villa ini.” Hazel menyilangkan tangan di depan dada dan menggosok-gosokkan telapak tangan di ke dua sikunya, mencoba memberi kehangatan dari dinginnya terpaan angin.

Dengan kardigan yang putih dan tipis, memang cukup sulit menangkis udara pegunungan yang sejuk dan perlahan menembus pori-pori kulit sebelum masuk hingga ke tulang. Tapi Hazel tetap berdiri di halaman itu, menikmati sajian pemandangan villa dan sekitarnya yang semakin diperhatikan terlihat semakin indah. Matanya tidak pernah bosan memandang, begitu juga mulutnya yang tidak berhenti mengungkapkan kekaguman.

Harus diakui bahwa berlibur di villa ini adalah hadiah bulan madu terindah yang tidak akan pernah dilupakannya.

                Hazel berpikir-pikir, jika memungkinkan, dia ingin tinggal lebih lama di sana. Jangankan seminggu, sebulan pun dia tidak keberatan.

                “So…?” Marvin juga mengakui hal yang sama. Tapi rasa kantuk membuatnya tidak ingin berlama-lama di sana, apalagi terkagum-kagum sampai kehabisan napas seperti yang dilakukan Hazel sekarang.

Dengan udara sedingin ini, tidur adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya. Dia masih bisa mengagumi villa itu sebentar sore atau sebentar malam. Atau besok pagi. Masih begitu banyak waktu yang tersisa sebelum diserang kebosanan berada di tempat yang sunyi dan jauh dari rumah-rumah penduduk. Karena sejauh mata memandang, hanya villa itu satu-satunya bangunan yang terlihat di sana. Entah kalau ada bangunan lain yang gaib dan tidak tertangkap mata.

Haah pikirannya mulai mengada-ada. Dia memang benar-benar butuh tidur.

                                                                ***

Ketika memasuki ruang tamu, Marvin melakukan survei kilat dan harus diakuinya kalau penataan ruangan villa itu cukup baik. Ruangannya luas, kemungkinan karena ruang tamu tidak banyak furnitur dan perabotan. Hanya ada dua buah sofa bermotif bunga Carnation serta sebuah meja kayu bertaplak rajut berukuran sekitar satu meter. Taplak rajut mengingatkan Marvin pada kerajinan tangan buatan neneknya yang memang gemar merajut. Selain itu, hanya ada sebuah lemari kayu dengan kaca bening di bagian depan, setinggi satu meter, kosong dari benda apapun, entah itu buku atau hiasan keramik. Lantainya dari bahan kayu yang ditutupi karpet warna gading, membuat pijakan terasa hangat meskipun tanpa alas kaki.

Ruang tengah tidak kalah minimalis.  Ruangan itu hanya diisi sebuah sofa, meja berukuran lebih kecil, tiga buah kursi, dan sebuah lemari kosong namun berukuran sedikit lebih besar dari lemari yang ada di ruang tamu. Sebuah TV flat 32 inci diletakkan di atas rak rendah dan lebar, menempel di dinding yang berhadapan dengan pintu penghubung dengan ruang tamu. Sebuah lukisan pemandangan tergantung di dinding dekat pintu menuju ruang makan.

Hazel's Wedding Story (First Sight) SUDAH DIBUKUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang