Bab 4 Pernikahan Atau Pelarian?

40.2K 2.5K 220
                                    

Seperti hujan tidak ada seorang pun yang tahu berapa banyak tetes yang jatuh membasahi bumi tiap detiknya. Juga tidak akan bisa menjawab secara pasti kapan hujan berhenti. Manusia hanya bisa memprediksi, dan membuat perkiraan berdasarkan hitungan. Mengenai kevalidannya, siapa yang bisa menjamin?

Mungkin, hal-hal itu identik dengan hati. Kita tidak tahu akan mencintai siapa, bagaimana awal pertemuan itu, lalu apakah berakhir bahagia seperti kisah-kisah dongeng.

Sebut saja itu sebagai takdir di mana benangnya terpital dengan takdir-takdir yang lain.

Bab 4 Pernikahan? Atau Pelarian?

Layaknya angin yang mendatangkan hujan sekehendaknya sendiri, kau pun sama, memutuskan sesuatu sesuka hatimu.

Setelah shalat Isya tadi, Ulva berada di atas ranjang. Dia sudah berusaha memejamkan mata, tidak peduli bahwa sekarang masih jam 8 malam. Sayangnya, kedua indra penglihatannya telah berubah jadi pembangkang. Ulva menghembuskan napas, merasa usaha untuk tidur jadi sia-sia.

Kalimat Raka sore tadi membuatnya berpikir dan menduga tentang sesuatu. Kadang, dia berpikir bahwa Purna masih hidup, akan tetapi sepintar-pintarnya dia membuat praduga, rasanya sangat menyakitkan jika ingat bahwa kenyataan berbicara lain.

            Mungkin benar nasehat ibunya. Dia hanya perlu membuka diri pada pria lain agar bisa melupakan Purna. Melanjutkan hidup dengan baik, seperti permintaan terakhir pria itu. Pernah terpikir untuk menikah, mungkin dengan adanya pria yang mengisi hari-harinya, ada sedikit warna berbeda dan membuatnya tidak terbangun tengah malam akibat mimpi buruk—dibayangi masa lalu di mana dia merasa bersalah pada Purna. Mungkin, menikah menjadi satu-satunya alternatif jawaban paling masuk akal.

Menikah? Dengan siapa? Ia menyentuh kening, mengusapnya pelan agar pikirannya kembali normal. Menikah bukan perkara gampang karena dia sama sekali tidak memiliki teman pria.

“Ulva,” pintu kamarnya terbuka, “belum tidur, kan?” Pria itu ayahnya. Beliau baru datang menjelang maghrib tadi dari Solo.

Gadis itu mencoba duduk dan memberi ayahnya sebuah senyum, “belum, ada apa, Yah?”

“Ada tamu yang ingin menemuimu.” Kata ayahnya. Ulva melirik jam di nakas, pukul 20.10.

“Tamu?” alis Ulva memicing, dia berpikir kira-kira siapa yang menemuinya? Saat ia memutuskan untuk menenangkan diri—akibat surat pengunduran dirinya ditolak Mandala dan atasannya itu malah memberi waktu untuk mengasingkan diri—tidak ada satupun yang berani menemuinya, kecuali Raka.

Tunggu, apa orang yang ingin menemuinya itu Raka? Tidak mungkin pria itu.

“Sebentar, Yah. Ulva ganti baju dulu. Nanti Ulva temui.” Putusnya setelah merasa tidak baik membuat ayahnya menunggu.

***

“Kamu?” Ulva megap-megap melihat pria yang duduk di sofa, mengobrol dengan ayahnya, dan terlihat akrab.

Wali hanya mengangguk sopan. Dia tidak mengeluarkan rayuan, masih untung, pikir Ulva malas. Gadis itu bersedekap.

“Duduklah di sini, Nak. Jangan sinis begitu.”

“Tapi, Yah….” Suara Ulva luruh ketika ayahnya mengedip. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kalau dia duduk bersama Wali. Pria itu selalu pandai membuat emosinya naik begitu tinggi, setinggi puncak Himalaya yang lebih dikenal dengan nama mount everest.

“Ayah tinggal dulu, ya.” Pria paruh baya itu tersenyum pada Wali. Sekarang saja ayahnya menyebut “ayah” di depan pria pengganggu ini.

“Ayah jangan pergi.” Ulva menahan. “Kau,” ia ganti menatap Wali, “ada urusan apa kau kesini? Jangan bilang ingin bermain karena aku tidak menerima lelaki asing masuk ke rumahku dan berbicara padaku seperti seseorang yang intim.”

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang