Bab 3 Yang Disebut Namanya

35.7K 2.4K 123
                                    

            “Mari kubantu, Nek.” Ulva menggenggam jemari nenek tua kemudian menuntun untuk menyebrang. “Nenek mau kemana?”

            “Aku ingin menengok cucuku di rumah sakit. Di depan sana.” Ia menunjuk bangunan yang ada di hadapannya. Ulva dengan telaten membimbing langkah si nenek.

            “Nah, sudah sampai.” Ulva mengantar sampai di gerbang, “aku pergi dulu ya Nek.”

            “Terima kasih, Neng.” Balas si Nenek dengan suaranya yang serak. Ulva menoleh dan mengangguk senang. Baru saja ia membelok ke kiri, menyusuri trotoar. Sebuah mobil membunyikan klakson.

            “Hai,” pria itu menurunkan kaca jendela, senyumnya ramah. Seketika itu juga mood Ulva yang semula bagus, langsung turun drastis. “Pulang ya Neng? Abang mau lho jadi sopir Eneng….”

            Ulva terus berjalan dan mengabaikan keusilan orang yang sama saat ia bekerja siang tadi.

            “Udah sore lho Neng, nggak baik anak perawan sendirian.” Lanjut Wali masih memasang wajah tengil. Dia membunyikan klakson lagi. Diamatinya tiap senti mimik wajah Ulva yang tertekuk, macam sendi lutut.

            “Ih, si Eneng mah sombong.” Lanjutnya, melajukan kendaraan pelan-pelan. “Inget lho, Neng… setan diusir dari surga, bukan karena dia mencuri atau menindas, tapi karena sombong.”

            Ulva berhenti. Ia menghadap Wali sambil membuang napas agar kekesalannya menurun. “Apalagi yang akan kau katakan?” nadanya sinis dan tidak bersahabat.

            Seharusnya, Wali ngeri mendapat respon itu, tapi yang ia tampilkan hanya senyum lebar. “Ahaaa, aku akan berkata lagi kalau kau sudah masuk dalam mobilku.”

            “Dalam mimpimu saja.” Ulva memutuskan untuk tidak menanggapi Wali atau dia akan meledak seperti balon yang kebanyakan diisi udara—kehilangan elastisitas.

            Jangan berpikir Wali akan mengibarkan bendera putih melihat Ulva masih measang tembok dingin yang kokoh, lagi tinggi. Atau begini saja, jangan panggil namanya Wali jika tidak berhasil mengajak Ulva semobil dengannya.

            “Boleh kan aku bermimpi semobil dengan seorang dewi?” ia mulai membual lagi.

            “Hei, kalau kau tidak segera enyah di depanku, aku akan menjadikanmu samsak!” teriak Ulva, wajahnya merah padam.

            “Sepertinya itu ide bagus, jika samsak bisa menjadi sebuah alasan kau merawatku.” Timpal Wali, berhasil membuat tanduk keluar dari kepala Ulva. Ralat, tanduk abstrak. “Aku tentu tidak keberatan, Neng.”

            Ulva memutar tubuh. Ia memutuskan mendekat. “Buka pintu mobilmu dan tutup mulut besarmu!”

            Sejenak, Wali mengernyit dan begitu paham apa yang dikehendaki Ulva, senyumnya mengembang. Kali ini lebih lebar, dari telinga hingga telinga. Ia segera turun, memutari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Ulva.

            “Bukan di dekatmu, aku di kursi penumpang.”

            “Ayolah,” Wali sudah membuka pintu, “hanya kursi yang dekat dengan kemudi yang kusediakan untukmu. Kalau kau berkeras untuk duduk di kursi penumpang, nanti orang akan berpikir bahwa aku benar-benar seorang sopir. Itu menjatuhkan harga diriku, tahu.”

            “Baru sekali ini aku bertemu om-om yang jalan pikirannya benar-benar rumit.” Ejek Ulva, tapi dia tetap masuk dalam mobil dan duduk dengan tenang—atau berusaha tenang.

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang