Bab 9 Cemburu yang Sederhana

37.9K 2.6K 222
                                    

Siang ini Ulva mau mengantarkan makan siang untuk Wali. Tapi niatnya dibatalkan karena melihat suaminya sedang berjalan dengan seorang wanita menuju parkir. Keduanya hilang dalam mobil. Ulva melirik jam tangan. Waktu makan siang, kali saja wanita tadi adalah kolega dan untuk menciptakan komunikasi yang baik, Wali mengajak makan bersama. Sesederhana itu, pikir Ulva. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke kafe tempatnya bekerja.

“Lho, tidak jadi makan siang dengan suamimu?” Noura—sang manager bertanya.

“Jadi, tapi sepertinya aku salah datang.” Ulva nyengir, tidak mau terlihat kecewa. “istri macam apa aku ini, Bu. Jadwal suami sendiri tidak hapal.”

Noura tersenyum, “lain kali kamu harus lebih memperhatikannya. Kalau kamu tidak mengubah perilakumu, bisa jadi… dia diperhatikan wanita lain.”

“Aku tahu dia setia, jadi dia tidak mungkin selingkuh.” Ulva tertawa garing. Hakhakhak. Jenis tawa yang sama sekali tidak meyakinkan.

“Jangan berpikir hati pria selamanya lurus, Ulva. Mereka adalah kumpulan makhluk logis, bukan tipe orang yang mengandalkan perasaan.” Manager Ulva seperti berniat membuat Ulva tidak nyaman. “Lagipula, cinta itu adalah kata kerja, sehingga bersifat dinamis. Karenanya, perlu dijaga dan dirawat.”

“Ibu kok kedengerannya kayak pembicara motivasi. Wah!”

Noura hanya tersenyum seadanya, “bukan seperti itu juga, sih. Aku bicara seperti ini karena pengalaman pribadi.” Jeda sejenak, dan ini digunakan Noura untuk mengambil napas, “dulu aku menikah saat berusia 19 tahun. Tapi pernikahanku kandas. Saat itu aku sibuk dengan kuliah dan akhirnya aku melihatnya berselingkuh dengan kawan kuliahku. Miris, kan? Tapi semua memang bukan salahnya. Aku saja yang bodoh saat itu. aku selalu berpikir bahwa dia akan terus mengertiku.”

“Apa—apa suami—”

“Mantan suami. Itu sudah lama sekali. Sekarang, aku sudah memiliki keluarga baru yang sempurna. Aku harap pernikahanmu jangan sepertiku dahulu. Alih-alih menyelesaikan masalah, menikah justru menimbulkan banyak masalah. Tapi, menikah memang tidak dibangun atas kesamaan. Semua masalah akan menjadikanmu lebih arif.” Noura mengangguk sekali sambil memegang punggung tangan Ulva kemudian kembali ke ruangannya.

Ulva masih mencerna nasehat atasannya. Masalah pernikahannya bukan karena komunikasi mereka memburuk, tapi karena dirinya. Iya, sampai hari ini Ulva belum bisa melupakan Purna. Ditambah kabar Mandala bahwa Purna masih hidup, berhasil membuatnya meragu.

Akan tetapi, mengingat statusnya sebagai seorang istri, ia merasa seperti seorang pendosa. Ada seorang pria yang sudah menikahinya, rela disiksa jika lalai dari tanggung jawab, tapi lihatlah dirinya… Wali berhak kecewa padanya. Wali berhak jika berkencan dengan wanita lain. Tapi, membohongi diri sendiri dengan pura-pura tidak terpengaruh dengan kabar Purna masih hidup adalah sikap yang benar-benar konyol.

“Allah….” Ia menyebut nama Tuhannya, merasa sedih karena belum bisa mengontrol hatinya yang egois.

Ponsel Ulva berbunyi, ada sebuah chat masuk dalam aplikasi messengernya.

“Jam berapa pulang?”

Dari Wali. Segaris senyumnya nampak, ia sendiri bingung apa alasannya tersenyum.

“Tiga. Kamu?”

“Kujemput nanti.”

Ulva hanya membalas dengan ikon jempol. Ia mengantongi kembali alat komunikasinya dalam saku celana kemudian kembali bekerja, melayani pembeli yang mulai berdatangan.

***

Mendung berarak dari langit sebelah barat. Ulva menatap pintu masuk rumah sakit yang ada di depan cafe, melihat siapa tahu Wali sudah keluar. Tapi, dia tidak menemui  satu pun tanda-tanda kemunculan Wali. Ulva mengambil napas. Jam kerjanya sudah berakhir dua jam lalu. Itu  artinya, dia sudah menunggu wali selama 120 menit dan itu melelahkan. Memutuskan untuk tidak mau terjebak bosan, Ulva mengirim pesan pada suaminya.

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang