Bab 8 Pacaran Ala Om-Om

42.1K 2.7K 247
                                    

Orang bilang sore selalu nampak memukau karena warna keemasan megah yang merasal dari langit maghrib ditambah angin yang mendesau seperti panggilan seorang ibu yang meminta anak kesayangannya kembali. Selalu seperti itu, tapi yang paling menyebalkan adalah jalanan macet. Sore bukan lagi jadi momen menyenangkan, justru jadi momok bagi orang sepertinya—terjebak macet. Tidak hanya itu yang membuat sore terasa menyebalkan, seluruh beban hari ini tertumpuk jadi satu dan belum terselesaikan.

Beban? Ya.

Ulva terkantuk-kantuk dalam kursi penumpang. Sesekali ia melihat ke jendela bus. Fokusnya bukan pada hiruk pikuk warga Bandung, desing kendaraan beserta asapnya, atau suara pedagang asongan menjajakan dagangannya. Tapi, pada cerita Mandala, siang tadi.

Seperti intruksi atasannya, Ulva mengunjungi Mandala yang kebetulan ada di istana Negara. Sekian lama tidak bertemu, ternyata tidak lantas menjadikan pria itu beruban jadi keriput dan bungkuk. Justru makin menyebalkan karena Mandala berhasil menambah kosakata menggelikan yang disiapkan untuknya. Mengingat betapa kreatif Bossnya, Ulva sadar bahwa Mandala tidak akan diam saja, sok berwibawa dan irit omong. Bersama Mandala, Ulva jadi yakin bahwa motto talk less do more hanya omong kosong. Motto yang sebenarnya adalah banyaklah berbicara, buka rahasianya kemudian permalukan di dengan itu agar dia berpikir. Kenapa dia berkesimpulan seperti ini? Sebab Mandala sudah membuktikan teori Ulva, tanpa melenceng, sedikit pun.

“Bagaimana keadaanmu, Ulva? Kau terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa kau kebanyakan bercinta sampai kehilangan berat badan?” Mandala mulai menyapanya dengan rentetan kalimat tidak penting. Ketika itu, Ulva hanya mampu menggeleng sebelum menyahut. Checklist pertama, hipotesis motto talk less do more adalah kesalahan.

“Makanya, cepatlah menikah, Boss, agar tidak perlu menanyakan hal-hal seperti itu. Oh ya, apa Athaya masih jadi satpam?” Ulva nyaris melonjak-lonjakkan badan melihat ekspresi Mandala yang semula ceria berubah jadi kusut, “kisah asmaramu sangat menyentuh. Ini akan hebat jika ada yang memfilmkan, ‘perjuangan cinta anak presiden’ Eh, ternyata aku berbakat jadi tim marketing film!” Ulva terkekeh bahagia sementara Mandala mulai mengendalikan emosi.

“Syukurlah kalau kamu masih bisa menertawaiku. Aku takut setelah ini kamu tidak bisa lagi tertawa.”

Ulva benar-benar berhenti tertawa, ia menatap lawan bicaranya dengan serius. “Apa ini tentang Purna yang masih hidup?”

“Beberapa minggu lalu, Raka menemuiku. Si brengsek itu menunjukkan foto seseorang yang mirip Purna. Diam-diam, aku ingin tahu kebenarannya. Aku menghubungi keluarga Purna dan meminta ijin untuk mengambil bagian tubuh yang bisa dites DNA. Dan kamu tahu apa hasilnya?” Mandala berhenti, sial… maki Ulva dalam hati, Boss-nya paling jago mengulik rasa penasaran yang ia miliki. Lagi-lagi, Mandala membuktikan bahwa ‘talk less, do more’ benar-benar aib bagi seorang negosiator ulung.

“Hasilnya positif. Jasad yang dipendam itu adalah Purna, tapi keanehan lain muncul.” Mandala mengambil dua berkas yang ada di meja, “aku mengunjungi satuan khusus TNI AD—Kartika Eka Paksi—dan menemukan data-data Purna di sana lengkap dengan dokumen barunya.”

“Maksud Boss apa? Saat Purna meninggal, ia mati di depan mataku. Mana mungkin… mana mungkin datanya—?”

“Aku mencoba mencari tahu lebih lanjut. Positif, Purna masih hidup.” simpulkan Mandala. Hati Ulva tersengat, seperti ada yang memelintir organnya itu kemudian menghempaskannya ke air bergaram. Pedih.

“Purna sudah meninggal. Apa menunda pernikahan membuat Boss seperti Raka yang gila itu?” dengan emosi, Ulva berdiri. Datang dan menemui Mandala ternyata adalah sebuah kesalahan. Seperti memunculkan luka baru di mana kulit itu masih terluka dan nyata-nyata belum sembuh.

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang