Bab 1 Memoir; Yang Tertinggal dan Yang Mengusik

48.4K 2.5K 52
                                    

Sebuah kenangan ternyata bisa membunuhmu. Bukankah sebaiknya letakkan saja memorimu dalam brangkas? Tutup. Masalah selesai.

           

            “Kita dipertemukan dalam waktu yang salah. Mungkin, aku terlambat mengatakan ini, tapi sungguh… aku sangat berharap kau tahu bahwa aku juga mencintaimu.” Ulva hanya mampu diam. Dia mendengar setiap kata yang diucapkan lawan bicaranya, hanya saja untuk menyahut, memberi timbal balik, dia tidak mampu. Wajah pria itu dipenuhi rasa bersalah, membuat hati Ulva meradang. Di satu sisi ingin menghantamkan satu pukulan di rahang keras Purna sementara di sisi lain, Ulva ingin menyambut tubuh Purna, memeluknya dan merasakan betapa hangat dada pria itu untuknya.

“Aku tahu saat kau mencoba mencari perhatian padaku, Ulva. Aku tahu sorot matamu yang menawariku cinta dan kesetiaan, akan tetapi berpikirlah dua kali sekarang sebab, dua hal itu sudah tidak ada dalam diriku. Cinta dan kesetiaanku sudah kugadaikan untuk negara ini. Nyawaku bisa melayang tiap detiknya, dan aku siap untuk itu.” Purna berhenti, ia mendongak seakan-akan di langit-langit kamar tergantung jawaban dari setiap harapan dan doanya. “Lalu hari ini, kau membuatku sadar dan mengerti, bagaimana menggunakan hatiku. Untukmu, juga untuk Indonesiaku.”

            “Kau terlalu banyak omong sekarang.” Airmata Ulva jatuh, tangannya meraih jemari Purna. Menggenggamnya. “Istirahatlah. Aku akan menjagamu.”

            Berbeda dengan perintahnya, perlahan namun pasti tubuh Purna menguar. Hilang jadi seberkas cahaya. Ulva menjerit saat jemari yang ia genggam terasa dingin dan hanya berisi angin.

            “Purna!” Ia berteriak, menoleh sekeliling, mencari-cari di mana perginya orang yang ingin iajaga. “Purna! Tolong, jangan tinggalkan aku! Kumohon! Jangan pergi… jangan pergi!”

            Ulva tersadar saat kepalanya menyentuh dashboard ranjang dengan kuat. Ia memejamkan mata. Merasa begitu bodoh dengan keadaannya sekarang.

            Mimpi itu lagi.

            Diusapkannya telapak tangan di wajah, lalu meludah secara isyarat ke kiri sebanyak tiga kali. Ia mengucap istighfar, mencoba mengurangi pikiran-pikiran gelap yang bersemayam di kepalanya. Tak lama kemudian, Ulva memutuskan untuk bangun, membasuh wajah dengan air wudhu.

***

           

            “Ayolah, Wali….” Wanita berusia 58 tahun itu sedikit merengek pada lelaki berjas putih yang sibuk dengan catatan-catatan medis pasien. “Makan siang hari ini saja.” Lanjutnya sambil mempertemukan dua alis agar Wali kasihan padanya. “Mama jauh-jauh dari Jakarta, membawa dia bersama Mama bahkan gadis itu mau menunggu di cafe depan sana hanya untukmu. Kamu tega sekali.”

            “Mama….”

            “Jika ini jadi permintaan terakhir Mama bagaimana? Apa kamu tetap tidak mau mengabulkan?”

            Kalau sudah begini, Wali tidak yakin bisa menghindar. Ia menghempaskan punggungnya lalu mengangguk dengan ekspresi bosan. Sudah berapa kali ibunya mencarikan pasangan kencan dalam sebulan ini? Selalu alasan yang sama. Jam makan siang. Sekali ini saja. Permintaan terakhir Mama.

            “Nah…, ini baru anak kesayangan Mama!” Alida membenahi kerah kemeja yang digunakan putranya, menepuk pipi Wali.

            “Oke, Wali sudah dewasa, jangan seperti ini, Ma, apalagi di kantor.” Wali menurunkan tangan ibunya.

            “Dewasa apa? Pasangan saja tidak punya.” Gerutu Alida, “Mama pernah berharap bisa menggendong cucu darimu, tapi lihat saja keadaanmu….”

            Wali berdiri, tidak mau telinganya jadi keriting gara-gara omelan sang Mama yang bakal sepanjang kereta Babaranjang. “Aku menemuinya. Sekarang.” Ia menggantungkan jas putih di gantungan belakang pintu kemudian tubuhnya hilang di balik pintu.

            Senyum Alida mengembang. Ia meraih ponsel, menghubungi gadis yang sedang menunggu Wali di café untuk mengabari bahwa Wali sedang menuju ke sana.

TBC

Suami yang (Tak) DirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang