(Unwanted)Reunion...

36 1 0
                                    

Having a distance with you hurts me, but too close with you hurts me even more.

Matahari seakan memberi sambutan saat pintu kaca itu terbuka. Tanpa suara sepasang kaki menapaki tangga menuju ke taman belakang. Rumah ini belum berubah... Alva berjalan tak jauh hingga tiba di dalam sebuah gazebo. Siapapun yang melihatnya pasti menangkap kesan uniknya. Dengan corak catur dan banyaknya sofa serta bantal empuk yang diletakkan di dalamnya membuat siapapun akan merasakan suasana rumah sekaligus parno. Alva tersenyum samar dan mengambil posisi duduk disalah satu sudut gazebo, spot favoritnya dari dulu hingga kini. Dari tempatnya duduk terlihat pantulan cahaya kuning di air kolam renang. Meski tatapannya menuju kearah sana, namun pikirannya melayang ke peristiwa kemarin. Saat ia bertemu lagi dengan Rei. Mereka sempat bersitatapan mata, sebelum Alva akhirnya mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju stan es krim. Ia kangen dengan es krim ini, es yang dulu sering kali dibelinya bersama Rei, Nata dan Dito. Begitu pesanannya siap, ia langsung pergi dari sana tanpa menyapa bahkan melirik sedikitpun.

"Ada apa, Fee?" Alva bertanya tanpa mengalihkan arah pandangannya. Fee hanya diam saja dan meneruskan langkahnya ke arah Alva. "Bisakah aku pergi belanja hari ini? Ada beberapa barang yang kuperlukan." Ada nada ragu dalam kata-kata Fee.

Kali ini Alva mengalihkan pandangannya ke mata Fee. "Sendiri?" Tangan Alva terjulur meraih tubuh Fee yang berada disampingnya, mengangkat tubuhnya dengan mudah. Kini Fee sudah duduk menyamping dipangkuannya dengan tangan yang terjulur keleher Alva, memaksa pria itu untuk menyandarkan diri padanya. Alva menuruti tindakan Fee, menyerudukkan wajahnya di leher Fee yang jenjang. Selama beberapa menit mereka bertahan di posisi itu, dengan tangan Fee yang membelai rambut Alva. Hingga akhirnya Alva memecah keheningan yang menyelimuti mereka, "Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Dengan Vani."

"Aku ikut ya?" Fee mengangguk dan baru saja akan beranjak saat tiba-tiba terdengar teriakan kesal dari dalam rumah.

"Aku menunggumu dari tadi, dan kamu malah bermesraan dengan Aby?!"

Fee meringis tidak enak, sedangkan Alva hanya tersenyum santai. Mereka berdua berdiri, dan berjalan menuju ke arah Vani. Alva masuk ke dalam rumah, meninggalkan Fee dan Vani berdua.

"Kenapa mau keluar sebentar saja harus izin dengan Aby sih?" Vani masih mengomel karena kesal ditinggal lama.

"Maaf, terakhir kali aku pergi ke mall tanpa izin, dia melarangku keluar rumah selama seminggu dan mendiamkanku."

"Ya ampun, sejak kapan kakakku yang satu itu menjadi begitu overprotektif?"

Fee hanya mengangkat bahu dan menarik pelan lengan Vani, mengiringnya masuk ke dalam. Ingatannya melayang ke kejadian beberapa tahun lalu, saat Alva mendiamkannya selama seminggu dan melarangnya keluar rumah. Padahal saat itu Fee hanya mau ke mall untik membeli cemilan favoritnya. Tapi akibatnya? Dia bahkan memblok semua akses komunikasinya. Untuk masalah komunikasi, Fee tidak terlalu ambil pusing. Tapi yang menjadi masalah adalah dinginnya suasana di penthouse itu. Saat Alva pulang, dia langsung masuk ke kamarnya tanpa membalas sapaan Fee. Hingga di hari kedelapan tepat hari minggu, Fee mencoba untuk berbaikkan. Dia bangun pagi, membuatkan sarapan untuk mereka berdua, membangunkan Alva yang hanya menatapnya sekilas sebelum menuju ke kamar mandi. Selesai sarapan, Alva langsung beranjak tanpa mengeluarkan sepatah katapun meski Fee sudah mencoba membuka pembicaraan. Fee hanya diam, mengingatkan dirinya bahwa dia memang salah karena tidak memberi tahukan kepergiannya pada Alva. Selesai membereskan sarapan mereka, Fee beranjak menuju ke balkon. Duduk dan tidak melakukan apapun. Biasanya dia akan mengambil laptopnya dan mulai berselancar di dunia maya. Tanpa diminta, air mata menetes dari mata hijau itu. Saat dia mencoba menghapusnya, tetes lain malah ikut turun dan semakin deras. Dia menutup wajahnya dengan bantal, mencoba untuk meredam isak tangisnya. Rasanya sesak didiamkan begini. Meski biasanya dia dan Alva tidak banyak berinteraksi, namun Alva tidak pernah memberikan tatapan dingin seperti yang akhir-akhir ini diberinya. Entah berapa lama dia menangis hingga akhirnya tertidur.

Begitu bangun, dia sudah berada di atas tempat tidurnya. Firasatnya mengatakan bahwa yang memindahkannya adalah Alva. Pelan, dia melangkahkan kaki menuju ke ruang kerja Alva yang berseberangan dengan kamarnya. Begitu membuka pintu, dilihatnya Alva sedang sibuk mengerjakan sesuatu menggunakan laptopnya. Fee menelan ludah saat matanya bertatapan dengan sorot dingin milik Alva. Tanpa diinginkannya, air mata kembali menetes. Dia hanya diam di dekat pintu sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk mendekat ataupun menjauh. Dia berdiri dari duduknya menuju ke sofa hitam yang dekat dengan pintu. Alva menghela napas sejenak, sebelum berkata, "Mendekatlah." Tanpa bantahan Fee langsung mendekat, masih dengan isak tangisnya ditambah dengan tanganny yang sibuk meremas ujung bajunya

Begitu Fee berdiri dihadapannya, Alva mengulurkan tangan. Menghapus air mata yang menghiasi mata hijau itu dengan lembut. Alva duduk di sofa sambil menarik tubuh Fee agar ikut duduk diatas pangkuannya. Fee bisa merasakan ada tangan yang membelai rambutnya dengan lembut dan sebuah tangan besar dipunggungnya. Kepalanya disandarkan pada dada bidang Alva. Mulutnya sesekali masih menggumamkan kata maaf. Alva hanya diam dengan tangan yang tetap membelai lembut rambut halus Fee. Tiba-tiba, kepala Fee mendongak, bertanya dengan ragu, "Kamu masih marah?"

Alva menghela napas pelan sebelum menjawab,"Tidak."

Masih ada keraguan di pancaran mata Fee, dan Alva menyadarinya. Karena itulah dia tersenyum lembut dan mengecup pelan dahi Fee, gadis yang telah mengisi hidupnya akhir-akhir ini. Tak lama, Fee membalas pelukan Alva dengan erat.

"Aku janji, lain kali tidak akan keluar sembarangan lagi. Jangan marah lagi ya? Menakutkan rasanya."

"Aku tidak melarangmu pergi kemanapun, asalkan dengan seizinku. Jadi setiap kamu mau keluar setidaknya beritahukan dulu padaku. Dan sebagai permintaan maafku karena sudah membuatmu takut, bagaimana kalau kita menonton di bioskop hari ini?"

Fee segera menyambut ajakan itu dengan semangat. "Ayo! Ada film baru yang katanya seru di bioskop. Aku siap-siap dulu ya." Alva tersenyum sambil mengangguk.

Semenjak saat itu Fee berjanji dalam hati tidak akan lagi keluyuran tanpa sepengetahuan Alva.

♣02_97♣

Dua pasang manusia itu menapaki kakinya, memasuki sebuah cafe yang memberi kesan hangat dan homey. Mereka langsung menuju ke lantai dua, dimana suasananya lebih terbuka dan disediakan sofa serta meja pendek. Hanya orang-orang tertentu -VIP- yang bisa menikmatinya. Setelah memesan minuman dan cemilan, keempat orang itu terlibat dalam pembicaraan seru. Mengenang masa lalu dan membicarakan pekerjaan. Tak lama yang pria telah membicarakan otomotif sedangkan yang wanita masih sibuk dengan belanjaan mereka tadi. Hingga akhirnya suara teriakan memutus obrolan mereka. Tiga meja dari mereka, tampak seorang wanita sedang berdiri sambil menepis tangan yang terjulur padanya. Wanita itu membelakangi mereka hingga mereka tidak bisa mengenalinya. Keempat orang tersebut masih diam memperhatikan perdebatan keduanya, hingga akhirnya…

PLAK!

Wanita berbaju kantoran itu menampar lawan bicaranya. Tentu saja lawan bicaranya itu tidak terima dan melayangkan tangannya keatas.

Tapi gerakan tangannya terhenti karena Alva sudah menahan tangan lawan bicara wanita itu, seorang tua bangka.

"Aby?"

DEG!

Suara ini…

Anata no ShiawaseWhere stories live. Discover now