Slowly...

24 1 0
                                    

Aku berlari secepat mungkin, mengikuti tarikan tak kasatmata yang tubuhku rasakan. Napasku sudah terputus-putus, namun aku tetap memaksakan diriku untuk berlari menuju mobil yang langsung melaju kencang begitu aku memasukinya.

Kilasan pemandangan yang kulihat tadi masih membayangi pikiranku. Dan hatiku semakin hancur saat sebuah kesadaran memasuki otakku. Aku tidak diinginkan. Karena itulah tidak ada yang pernah memandangku.

Aku langsung menuju kamarku begitu mobil berhenti tepat didepan gerbang rumahku. Kamar yang sudah kudesain sedemikian rupa agar terkesan hangat namun nyatanya hatiku tetap saja terasa dingin.

Dan baru kusadari, aku tidak meneteskan air mata setetespun. Apa hatiku benar-benar sudah membeku? Hingga hal yang seharusnya terasa menyakitkan pun tidak mampu membuatku menangis?

Aku merebahkan tubuhku dikasur yang terasa dingin. Sekarang aku benar-benar sendiri. Tinggal menunggu waktu hingga aku dibuang dari tempat yang seharusnya menjadi rumahku ini.

Menghela nafas, aku beranjak menuju walk in closet yang tidak jauh dari kasurku. Dengan cepat aku mengambil ransel dan memasukkan beberapa pasang pakaian.

Aku harus segera pergi dari sini!
Sengaja tidak kubawa ponsel atau benda lainnya yang bisa menunjukkan jejak keberadaanku. Hanya beberapa lembar uang untuk membantuku bertahan hidup. Setelah kurasa semua yang kubutuhkan lengkap, aku langsung menyelinap keluar. Tidak sulit mengingat rumah ini nyaris tidak ada penghuninya.

Aku sudah menapakkan kakiku didekat taman kompleks ketika tiba-tiba seseorang membekap mulutku dan perlahan kegelapan mulai mengambil alih kesadaranku.

♣02_97♣

Fee memasuki kafe yang baru dibuka dua hari itu dengan tergesa-gesa. Awal-awal pembukaan kafe sudah diprediksinya akan ramai. Apalagi dengan adanya promo untuk dua minggu pertama. Dia langsung membantu para pegawainya yang sudah kewalahan menghadapi pengunjung yang membludak.

Dengan sigap ia mencatat pesanan para tamu yang seakan tidak ada habisnya. Hingga beberapa jam kemudian barulah ia bisa mengistirahatkan kakinya sejenak. Setelah memberi beberapa arahan pada pegawainya, dia masuk ke dalam ruangan berukuran 4x6 meter yang dijadikan ruang kerjanya.

Fee mengeluarkan smartphonenya, begitu mendapati Alva sempat menghubunginya, ia langsung menelpon balik pria itu. Tepat setelah nada sambung pertama panggilannya langsung dijawab.

"Hai, Al. Maaf aku tidak menjawab panggilanmu tadi. Di kafe sedang banyak pelanggan. Ada apa?"

"..."

"Iya, aku nggak kenapa-napa kok."

"..."

"Ini baru mau makan. Kamu sendiri? Sudah makan siang?"

"..."

"Iya, aku makan sekarang. Kamu juga. Makan sekarang. Jangan sampai mag kamu kumat. Ok, take care."

Beberapa menit kemudian pembicaraan selesai. Fee menghenyakkan dirinya di sofa biru dalam ruangan tersebut. Menghela nafas dan menutup matanya, ia kembali teringat betapa khawatir Alva saat dirinya pingsan beberapa waktu lalu. Semenjak kejadian itu, Alva semakin protektif padanya.

Dan itu membuatnya takut.

Bagaimana kalau dia mulai bergantung pada Alva? Bagaimana kalau dia tidak bisa melepaskan Alva nantinya, saat pria itu menemukan wanita pendamping hidupnya? Bagaimana kalau Alva tidak mau dia ada disisi pria itu lagi?

Lamunannya terputus saat terdengar ketukan pintu dari luar.

"Maaf mbak, ada yang nyariin diluar." Lapor Risya, salah satu pegawainya begitu dipersilahkan masuk.

Fee mengernyitkan dahi, seakan menanyakan siapa?

Risya langsung menjawab begitu melihat ekspresi wajah bosnya itu, "Cewek, Mbak. Udah agak berumur sih."
Fee beranjak dari sofa untuk menemui tamu tak diundang tersebut. Dan jantungnya terasa berhenti berdetak begitu mengetahui siapa yang mengunjunginya.

♣02_97♣

Alva meletakkan ponselnya sembarangan dimeja begitu selesai menghubungi Fee untuk menanyakan keadaannya.

Siapa sangka gadis yang diselamatkannya secara kebetulan beberapa tahun lalu kini justru menjadi pilar hidupnya?

Dia tidak akan bisa tanpa Fee. Dan akan dipastikannya gadis itu selalu berada disisinya selalu. Sosok itu yang menopangnya dikala ayahnya pergi. Dikala dia harus siap dengan beban tanggung jawab perusahaan diusianya yang masih terhitung muda.

Pikirannya melayang kembali ke saat Fee pingsan tepat didekatnya. Kata dokter itu hanya efek shok. Tapi karena apa? Fee menolak bercerita padanya hingga saat ini, meski dia sudah berusaha membujuk Fee untuk berbicara. Namun gadis itu tetap bungkam, menolak mengatakan apapun.

Sudah beberapa jam berlalu dan kini sudah pukul enam sore. Ia menghubungi Fee, mengabarkan bahwa dirinya akan segera ke kafe untuk menjemput gadis itu.

Alva : Kujemput sekarang ya?

Fee : Tidak perlu. Aku sudah pulang dua jam yang lalu. Segera pulang ya. Ada yang ingin kubicarakan. Penting.

Alva : Oke.

Namun Fee malah menolak dan menyuruhnya langsung pulang kerumah.

Alva bergegas mengambil jasnya dan bersiap pulang. Diabaikannya tatapan sekretaris yang mencoba menggodanya. Dalam setengah jam ia sudah tiba dirumahnya dan merasa heran dengan Honda Civic Metallic yang terpakir disalah satu carport. Mobil siapa?
Didorong rasa penasaran, ia buru-buru memasuki rumahnya, melangkahkan kaki menuju ke sumber suara di ruang tamu. Di sana, dua wanita beda generasi duduk berhadapan. Yang satu, wanita -gadis- yang telah mendampinginya beberapa tahun belakangan. Satunya lagi wanita yang lebih tua, asing baginya.
Baru saja Alva akan melangkahkan kakinya ke arah sofa, kalimat yang meluncur dari wanita asing tersebut menghentikannya.
"Tante mohon Fee, tidak bisakah kamu kembali ke rumah? Bagaimanapun juga kamu harus merawat Nami. Dia darah daging kamu!"
DEG!
Darah daging? Apa maksudnya Fee sudah punya anak?

Masih ada yang nungguin cerita ini ngga ya?
Sorry for the slow update
Voment pleasee

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 26, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Anata no ShiawaseWhere stories live. Discover now