Problem

52 1 0
                                    

"Hei, bangun. Udah jam sembilan nih," gadis itu mengelus dada bidang Alva yang polos. Jari-jari lentiknya terus menyentuh titik-titik sensitif pria itu. Hingga akhirnya terdengar geraman tertahan, gadis itu menyeringai senang.
"Jangan salahkan aku jika aku menyerangmu detik ini juga kalau kamu masih melanjutkan kelakuanmu ini." Gadis itu tertawa kecil, senang karena rencananya untuk membangunkan pria itu sukses. Tangannya berhenti menyentuh dada bidang yuang sangat menggoda iman kaum hawa normal manapun.
"Bangunlah, aku sudah memanggilmu berkali-kali dari dua jam yang lalu. Nasi gorengmu bahkan sudah dingin sekarang."
"Lima menit lagi,Fee."
"Tidak. Kamu sudah mengatakan itu beratus kali. Ayolah.. aku harus ke kafe jam sebelas nanti. Atau aku boleh pergi sendiri nanti?" Fee mencoba menawar dengan Alva, siapa tahu dia diizinkan membawa mobil sendiri hari ini.
Pria itu segera membuka matanya dan menatap datar gadis dihadapannya. "Tidak. Aku akan mengantarmu hari ini."
"Tapi kamu tidak bisa terus mengantarku, kan? Belum lagi kamu harus mulai bekerja besok. Nanti kalau aku mau keluar bagaimana?" Fee masih mencoba menawar. Menurutnya, Alva sudah terlalu posesif-tingkat akut. Masa hanya karena dulu dia sempat pergi ke mall tanpa mengabarinya dia langsung tidak memperbolehkan Fee membawa kendaraan sendiri?
"Tenang saja. Mulai besok akan ada supir yang mengantarmu. Yang jelas, kamu tidak perlu menyetir sendiri."
"Tapi kan-,"
"Tidak ada tawar menawar, pembicaraan selesai. Aku mandi dulu."
Fee menghela napas, tahu bahwa Alva tidak akan merespon apapun protesannya lagi. Karena itu dia lebih memilih untuk beranjak menuju ke lemari dan mengambil pakaian untuk Alva. Dia sudah membereskan barang-barang mereka, baik yang dikoper ataupun yang mereka beli kemarin, tadi pagi. Selesai meletakkan pakaian bersih untuk Alva, dia beranjak menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan Alva yang baru-karena nasi goreng yang dimasaknya sudah dingin. Di rumah tinggal dia dan Alva. Vani sudah dijemput oleh Rio tadi untuk berangkat kerja.
Lamborghini Avendator itu memasuki pelataran parkir sebuah gedung yang masih dalam tahap pembangunan. Kedua orang yang turun dari mobil mewah itu langsung beranjak ke dalam gedung tersebut. Begitu memasuki bangunan setengah jadi tersebut, Fee langsung menuju ke arah seseorang yang terlihat sedang sibuk mengomandoi beberapa kuli bangunan.
"Hai, Ki. Gimana perkembangannya?" Fee menepuk bahu Lezkia, arsitek yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kafe yang rencananya akan di buka dua minggu lagi.
"Hai, Lio. Udah sembilan puluh persen rampung sih. Tinggal tunggu furniture untuk lantai satunya masuk sama beres-beres."
Fee mengangguk puas mendengar jawaban Lezkia, pria yang merupakan teman kuliahnya dulu. Mereka bisa dikatakan cukup akrab dulu karena Lezkia pernah mencoba mendekati Fee, yang tentunya gagal. Mereka melanjutkan obrolan seputar pekerjaan dan berjalan ke lantai atas. Udara terbuka langsung menyambut mereka berdua. Fee tersenyum puas dan berjalan mengelilingi lantai dua tersebut. Kafe ini didesain sesuai dengan bayangannya dulu. Saat dia masih bebas mengembangkan khayalan-khayalannya.
Lantai satu didominasi oleh warna biru laut malam,warna favoritnya, diberi sedikit sentuhan warna silver seperti kilauan bintang. Tentunya dia tidak menginginkan suasana yang gelap, jadi disana sini dipasang hiasan lampu berbentuk benda-benda angkasa. Bulan, meteor, dan komet. Semuanya disusun semirip mungkin dengan tata surya pada malam hari. Bahkan kilauan bintangnya dipasang menurut rasi bintang.
Naik ke lantai dua, pengunjung akan langsung berhadapan dengan taman terbuka. Taman tersebut disusun seperti labirin dan tingginya nyaris semester. Luasnya hamper seluruh dari bangunan tersebut. Sisanya dijadikan ruang tertutup untuk ruang kerja Fee. Saat ini dia masih berada di taman yang sudah jadi tersebut. Lantai dua memang sudah selesai secara keseluruhan. Hanya tinggal lantai satu yang masih perlu sedikit sentuhan agar sempurna.

Fee's POV
Aku menutup mata, mencoba membayangkan saat kafe ini sudah dibuka dan mulai dipenuhi oleh para pengunjung. Dalam hati aku sangat berterima kasih pada Alva yang mau memodaliku, dan kupastikan dia tidak akan menyesali keputusannya ini. Tepat saat itu, ponselku melantunkan lagu David Guetta

You shoot me down, but I won't fall
I'm titanium..

Aku segera menggeser tombol hijau di screenku tanpa melihat siapa callernya karena tidak mau membuat penelponnya menunggu lama.
"Halo?"
"Hai, Diane. Masih mengingat suaraku?"

Alva's POV
Aku berkeliling sejenak, mengamati kafe yang dibuat sesuai dengan rancangan impian Fee ini. Desainnya unik dan bagi yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan perbintangan pasti akan sangat menyukainya. Kurasa aku tidak akan menyesal menanamkan sahamku disini. Aku menolehkan kepalaku saat ada tangan yang menepuk bahuku.
"Hai, lo Alva, kan? Kenalin gue Lezkia, temen Lio sekaligus arsitek kafe ini." Pria yang mengaku bernama Lezkia ini mengulas senyum bersahabat dan mengulurkan tangannya padaku, yang kubalas dengan senyuman tipis dan anggukan. Dia terlihat ingin menanyakan sesuatu padaku, tepat saat aku melihat Fee turun dari lantai dua dengan limbung. Dia nyaris akan jatuh dari anak tangga jika saja aku tidak menangkapnya dengan sigap. Untung posisiku cukup dekat dengan tangga.
Aku baru mau menanyakan keadaannya saat kusadari dia kehilangan kesadarannya. Seketika itu juga rasa panik menyergapku.

Ohayou... Minna-san~~
Sorry baru update...hontouni gomenasai!!
♣Mohon Vote & Comments nya yaaa
...♣
Sepi banget....hiks

P.S. : yang di mulmed itu Fee yaa XD

Anata no ShiawaseWhere stories live. Discover now