Coming Back...

62 1 0
                                    

Jalanan hari ini yang macet semakin memperburuk moodku. Aku baru saja kembali dari meeting dengan seorang client yang banyak maunya. Apalagi ditambah dengan matanya yang jelajatan tidak tahu malu. Ingin sekali rasanya menggampar wajah mesum itu. Dasar tua bangka tidak tahu diri! Aku memarkirkan Peugeot Silverku di seberang taman yang nyaris setiap hari kukunjungi. Taman ini mengingatkanku pada masa lalu. Masa dimana hari-hariku hanya dipenuhi oleh kesenangan. Bersama mereka. Aku menuju ke salah satu stan es krim langgananku dan seperti biasa memesana waffle rasa oreo vanilla. Tepat saat aku baru memasukkan sesuap waffle, aku melihat dirinya. Sesaat kupikir hanya bayanganku saja, tapi setelah mengedipkan mata berkali-kali dan sosok itu masih ada, aku yakin dia nyata. Dia benar-benar berdiri dalam jarak kurang dari lima meter.

You said it in a simple way,

4 AM, the second day,

How strange that I don't know you at all.

Stumbled through the long goodbye,

One last kiss, then catch your flight,

Right when I was just about to fall

I told myself don't get attached,

But in my mind I play it back,

Spinning faster than the plane that took you...

And this is when the feeling sinks in,

I don't wanna miss you like this,

Come back... be here, come back... be here.

I guess you're in New York today,

I don't wanna need you this way,

Come back... be here, come back... be here.

The delicate beginning rush,

The feeling you can know so much,

Without knowing anything at all.

And now that I can put this down,

If I had known what I'd known now,

I never would have played so nonchalant.

Taxi cabs and busy streets,

That never bring you back to me,

I can't help but wish you took me with you...

And this is when the feeling sinks in,

I don't wanna miss you like this,

Come back... be here, come back... be here.

I guess you're in London today,

I don't wanna need you this way,

Come back... be here, come back... be here.

This is falling in love in the cruelest way,

This is falling for you and you are worlds away.

New York... be here.

But you're in London and I break down,

'Cause it's not fair that you're not around.

This is when the feeling sinks in,

I don't wanna miss you like this,

Come back... be here, come back... be here.

I guess you're in New York today,

And I don't wanna need you this way,

Come back... be here, come back... be here.

I don't wanna miss you like this.

Come back... be here.

Come back... be here.

COME BACK, BE HERE-TAYLOR SWIFT

♣02_97♣

Begitu sepasang insan itu menginjakkan kaki di pintu arrival  semrua mata serempak menatap ke arah mereka. Meski kedua orang berbeda gender tersebut masih mengenakan kacamata hitam, namun aura disekitar mereka sungguh memikat. Kedua orang berbeda gender tersebut tetap berjalan seakan-akan itu bukanlah hal yang luar biasa. Bagi mereka kejadian seperti ini sudah sering mereka alami. Tak lama si gadis mengeluarkan iPhone dari tas terbaru keluaran Dior miliknya. Sebelah tangannya digenggam oleh pasangannya. Ia berjalan dengan anggun menuju ke salah satu gerai minuman yang namanya sudah mendunia, Starbucks. Tak lama terdengar jawaban dari panggilan ponselnya, "Iya, ini gue uda nyampe di bandara kok. Sabar keles. Kalian dimana?" Setelah memberi tahu lokasi mereka, gadis itu mengambil minumannya yang baru saja diletakkan oleh Alva. Fee menyunggingkan senyuman tipis sebagai tanda terima kasih. Tak lama, dua orang menghampiri mereka. Begitu tiba di hadapan Alva dan Fee, Nata langsung memeluk Alva. "Gue kangen bangat ama lo, By!! Kok lo nggak pernah balik kesini sama sekali sih?"

Alva hanya tersenyum tipis sambil balas memeluk Nata. Ia mendudukkan Nata di pangkuannya tanpa merasa risih sedikitpun dengan tatapan pengunjung lain. "Kan tiga bulan yang lalu lo baru ngunjungin gue di Tokyo. Dan sekarang gue juga ada disinikan?"

Nata hanya diam dan melepaskan diri dari pangkuan Alva. Dia beranjak menuju ke sebelah Fee, tepat diseberang Dito. "Long time no see, Lio. Tiga bulan lalu lo lagi di Jerman kan?" Fee mengangguk dan tersenyum tipis sebagai jawaban.

"Udah yuk. By,lo bakalan lama kan disini? Tapi kok bawaan kalian cuma satu koper?" Alva mengangguk kemudian menjawab,"Sisanya beli aja." Fee mengangguk sekilas kemudian kembali sibuk mengobrol dengan Nata.

Sejam kemudian mereka sudah tiba di rumah yang Alva tinggali dulu. Baru saja mereka turun dari mobil, pintu depan sudah terbuka. Dari dalam keluar seorang gadis cantik dengan tinggi sekitar 170cm. Ia segera berlari menghampiri Alva dan seperti Nata tadi, menghambur kepelukannya. "By, gue ama Nata masuk dulu ya. Besok kita ngobrol. Udah tengah malam nih." Terdengar suara Dito yang sudah beranjak ke rumah sebelah. Alva mengangguk, melingkarkan sebelah tangannya di bahu Vani dan sebelah tangannya yang bebas mengambil alih koper yang baru saja akan dibawa oleh Fee. Alva meminta Fee berjalan di depan dengan bahasa isyarat. Begitu masuk ke dalam rumah, sekelebat kenangan langsung mampir di pikiran Alva. He miss this house. Vani menyeretnya ke arah kamarnya yang dulu. Tidak ada yang berubah dari kamarnya yang dulu,masih bersih dan rapi. Bahkan gitarnya masih ada disalah satu sudut kamar. Alva meletakkan koper satu-satunya yang mereka bawa, lalu menghadap ke Vani. "Van, udah malam. Kamu tidur ya? Besok kita ngobrol. Toh besokkan hari minggu." Vani awalnya terlihat tidak rela, namun melihat rasa lelah di wajah kakaknya tersayangnya itu mau tak mau membuatnya menyetujui ucapan kakaknya. Dia baru saja akan beranjak keluar kamar saat menyadari satu hal. "Emm.. Lio. Lo tidur bareng ama kakak?" Dia melihat ke arah Lio yang berhenti mengeluarkan isi koper dan berbalik menatap ke arah dua bersaudara itu. Namun bukan Lio yang menjawab, melainkan Alva. "Iya." Hanya sesingkat itu jawaban Alva namun langsung membungkam Vani. Masalahnya, wajah Alva berubah dingin saat menjawab pertanyaan Vani.

Tinggal Alva dan Fee dikamar. "Kamu akan menggunakan nama yang mana? Aby atau Alva?" Alva tidak menjawab. Hanya membuka kaos dan jaketnya kemudian dilempar sembarangan. Fee menghela napas, tahu bahwa Alva tidak akan menjawab pertanyaannya, ia menyerahkan handuk yang diambilnya dari koper. Selang beberapa menit, Alva keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya juga masih basah. Ia berjalan ke arah tempat tidur dimana pakaian bersih sudah disiapkan oleh Fee. Ini sudah menjadi rutinitas bagi mereka berdua. Sambil menunggu Fee yang masih di dalam kamar mandi, Alva mematikan mode pesawat di ponselnya. Tak lama beberapa email sudah masuk ke inboxnya. Ia mengabaikan pesan tersebut dan beralih ke game yang saat ini mulai populer, Get Rich. Setelah bermain empat ronde barulah Fee keluar. Fee berdiri di depan cermin dan menyisir rambutnya dengan tangan. Saat dilihatnya Alva masih memainkan gadgetnya, dia menghela napas. Direbutnya gadget tersebut dari tangan Alva lalu mengeringkan rambutnya dengan handuk yang tersampir di bahu yang lebar itu. Alva hanya diam dan membiarkan apa yang dilakukan Fee sekarang. Dia sudah terbiasa dengan sikap Fee yang seperti ini semenjak empat tahun lalu. Begitu dirasanya sudah kering, Fee menggantung handuk tersebut lalu menuju ke sisi lain tempat tidur. Alva mengikuti apa yang dilakukan Fee dan secara alami mendekatkan tubuh mereka. Hingga Fee menyandarkan kepalanya di dada Alva yang bidang dan Alva balas memeluknya.

Dalam hati mereka menggumamkan hal yang sama dan terus mereka gumamkan setiap harinya.
Semoga besok semuanya tetap baik-baik saja.

Anata no ShiawaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang