Keputusan Abi, dukaku.

42 4 3
                                    

Sepulang dari kedai kopi Andri, Izzat kembali ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya lalu menuju beberapa PMI untuk mencari darah, dan Alhamdulillah satu kantung darah sudah dia dapatkan.
Sekitar jam 4 subuh Izzat kembali melajukan mobilnya ke rumah sakit. Dia baru saja mendapat telfon bahwa sebelum jam 6 pagi darah sudah harus tersedia.

Usai memberikan kantung darah pada perawat, Izzat langsung menemui Ummu Astrid yang masih betah menunggu anaknya di depan ruang operasi. Izzat memandang dari kejauhan. Astrid sangat berharga untuk semua orang, orang tuanya, rekan perawat, Naufal, Syiffah dan dirinya?

Yah, Astrid banyak membantu dirinya saat berada dalam kondisi paling bawah. Saat orang-orang menjauhinya termasuk Syiffah, Astrid lah satu-satunya orang yang setia mendukung dan membelanya. Izzat pernah terlibat dalam suatu kasus yang membuat dirinya dicaci maki, dikeluarkan dari sekolah dan dikucilkan oleh lingkungannya. Tidak ada teman yang menganggapnya lagi selain Astrid, bahkan Naufal sekalipun yang notabenenya teman dekat sejak SMP.

Karena itu, Izzat merasa berhutang budi pada Astrid. Wanita itu memang tulus, baik dan pengertian. Harusnya hatinya mendambakan gadis itu, tapi kenapa hatinya malah memilih sosok Syiffah? Ahh sudahlah, Izzat tidak mau menyesali. Pada siapapun ia melabuhkan hati semuanya terasa sama saja, akan bertepuk sebelah tangan dan sepertinya dia ditakdirkan untuk merasakan patah hati.

***

Ingin sekali Syiffah ke rumah sakit, menjenguk Astrid, merawatnya dan selalu ada di sampingnya. Namun, ada tanggung jawab lain yang harus ia jalankan. Dia sudah cukup bermalas-malasan ke kantor akhir-akhir ini, banyak tugas yang di lalaikan sebagai seorang jurnalis.
Doanya di setiap penghujung sholat, semoga sahabatnya itu kembali sehat dan beraktivitas seperti biasa. Banyak hal yang ingin dia tanyakan, tentang mengapa Astrid menyuruh Naufal untuk mengkhitbahnya, meminta dirinya menerima lamaran Naufal dan kenapa Astrid sekuat itu? Banyak hal ingin dia curahkan, tentang pernikahannya dengan Izzat yang tidak dilandasi perasaan, tentang kebenciannya pada lelaki itu yang belum hilang dan masih banyak lagi. Doanya tidak pernah berhenti untuk sahabat terbaiknya.

"Assalamualaikum," semua yang berada di meja makan menjawab salam Syiffah serentak. Hari ini Syiffah harus ke kantor setelah beberapa hari  berbohong sakit. Semoga Allah mengampuni dan tidak mengirimkan sakit untuknya, aamiin.

Abahnya mmandangi anak gadis satu-satunya itu, "Ke kantor naik apa, Fah?"

"Seperti biasai, abi. Naik motor." jawabnya mulai menikmati nasi goreng buatan kakak iparnya.

"Kenapa nggak sama Izzat?" pertanyaan umminya membuat gadis itu tersedak lalu cepat meraih air putih yang disodorkan kakak iparnya.

"Izzat sibuk, mi. Lagian kita juga kan belum ada ikatan, Syiffah bisa sendiri kok,"

"Daridulu nggak ada ikatan, tapi biasa aja tuh kalau keluar bareng," goda Fendy langsung mendapat cubitan di perut dari istrinya.

Syiffah mendengus kesal, "Tauh ah!"

"Diantar saja sama abangmu, lalu sebentar dijemput Izzat. Kalian harus ke toko cincin, ummi sudah kasitau Izzat tadi pagi"
Syiffah membulatkan matanya, lalu mendesah panjang. Apa Izzat belum bilang tentang keinginannya untuk menunda pernikahan mereka? Kondisi Astrid masih belum baik. Tidak mungkin dia menikah sementara kondisi sahabatnya itu semakin parah.

"Umiii, Abii. Kondisi Astrid masih belum stabil," keluh Syiffah. Matanya mulai berair.

"Pernikahannya diundur, yha bii. Sampai kondisi Astrid membaik."

"Syiffah! Kamu apa-apaansih?" gertak Fendy

Abi dan umminya menghela nafas, terdengar berat.
"Kamu tidak mencintai Izzat, nak?" tanya abinya membuat hati Syiffah meringis, bahkan abang dan kakak iparnya ikutan bergidik dengan pertanyaan abinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 16, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Al HubWhere stories live. Discover now