Kebahagiaan yang pahit

156 25 5
                                    

Selama dua hari Syiffah terus mengurung dirinya di dalam kamar, jangankan untuk merawat dirinya dengan sesekali mandi, makan saja ia harus dipaksa hingga dibentak oleh sang kakak. Terkadang juga, Syiffah menangis mengingat kata-kata kasar Naufal. Ia merasa dipermainkan oleh takdir. Belum lagi persoalan Izzat yang ternyata selama ini menaruh harapan pada dirinya, persahabatan mereka benar-benar terancam hanya karena sebuah rasa.

Syiffah memandangi pantulan tubuhnya di cermin, lusuh, tidak terurus dan menyedihkan. Ia lalu tertawa hambar melihat kondisinya, hanya karena cinta ia membuat tubuhnya sendiri terabaikan dan tidak memenuhi hak tubuhnya.

Syiffah meraih ponselnya yang berada di atas nakas, ponsel itu ia matikan selama dua hari dan baru akan ia aktifkan kembali sekarang. Ada banyak panggilan tidak terjawab dari Izzat, pria itu mungkin khawatir dengan keadaan Syiffah, tapi harusnya ia juga khawatir pada perasaannya sendiri setelah menerima penolakkan dari Syiffah.

Ternyata bukan hanya Izzat yang menghubunginya beberapa kali, nama Nabila juga tertera dengan beberapa pesan dan Naufal? Syiffah tersenyum hambar ketika membaca nama itu. Untuk apa Naufal menghubungi dirinya lagi, apakah belum cukup ia membuat Syiffah sakit hati? Atau ada kalimat yang lupa Naufal katakan pada Syiffah? Entahlah, Syiffah sudah terlalu malas untuk memikirkan hal itu.

Di lubuk hatinya, Syiffah terus memikirkan keadaan Astrid, bagaimana kondisi sahabatnya itu sekarang? Apakah masih terbaring di ruang ICU seperti terakhir ia melihatnya atau sudah membaik? Doanya, semoga Astrid dalam lindungan Allah.

"Assalamualaikum, Ffah." Seseorang yang menegtuk pintu kamarnya berhasil membuat lamunan Syiffah buyar.

Siapa yang datang pagi-pagi begini?

Dengan malas, ia mencari jilbab dan mengenakannya. Moodnya benar-benar belum pulih.

"Waalaikumu salam, bentar" jawabnya malas. Suaranya terdengar serak, mungkin ini akibat dirinya yang terus menangis.

"Buka dong! Ini saya, Nabila!" teriak orang di balik pintu sambil menggedor-gedor pintu kamar Syiffah.

"Nabila?" batin Syiffah.

Nabila adalah teman Izzat yang sekaligus juga menjadi rekan kerjanya selama menjadi Jurnalis.

Syiffah lalu membuka pintu kamar tanpa merapikan jilbabnya.

"Ada apa, Bil? Saya dicariin pak Ilyas yah karena nggak masuk kerja? Mampus!, yaudah ayo ke kantor, sekarang!" panik syiffah keliwungan tidak jelas.

Nabila geleng-geleng kepala sambil berusaha menenangkan syiffah.

"Dengerin saya ngomong!" perintah Nabila tegas. Ia lalu mendudukkan Syiffah di atas kursi belajar syiffah.

"Izzat tadi nelfon saya, katanya nomor kamu nggak bisa di hubungi selama dua hari.."

"Udah saya aktifin hapenya" potong syiffah dengan intonasi jutek.

"Astrid, Fah!" ucap Nabila tegas.

Mata syiffah melotot. Ia berdiri dari posisi duduknya. Apa yang terjadi pada Astrid?

"Astrid...astrid kenapa Bil?" tanya Syiffah menggoyang bahu Nabil keras.

"Astrid terus nanyain kamu, dia nggak mau di rawat kalau kamu nggak ngasih dia kabar."

Syiffah terduduk lemas, ia kira sesuatu yang buruk terjadi pada Astrid, "Bilang saja saya sibuk, dia akan mengerti." ucap Syiffah. Ia belum siap bertemu dengan Astrid. Hatinya belum siap menerima bahwa orang yang ia cintai ternyata malah mencintai Astrid. Tidak sepatutnya memang ia bersifat seperti ini, tapi hatinya belum siap untuk menerima kenyatataan.

Al HubWhere stories live. Discover now