Bab 3

385 20 0
                                    

Tasya Risania

Aku berangkat sekolah seperti biasa. Membawa tas dan membawa semangat baru bersama keempat temanku. Ya, kami bersahabat sejak kecil. Kami bergegas menuju sekolah. Tidak ingin telat karena lambatnya berjalan.

"Kerja kelompok kita belum selesai dan guru akan menagihnya besok. Kita harus lembur hari ini," ujar Rachsya salah satu sahabatku.

"Umm ... baiklah aku setuju. Bagaimana dengan kalian?" tanya Rinjani pada kami bertiga. Hanya anggukan yang menjadi jawaban.

"Tapi ... kita kerjakan dimana?" tanya Fena.

"Di sekolah saja. Karena peralatan lengkapnya ada di sini. Tidak mungkin jika kita akan membawanya keluar sekolah. Bisa-bisa kita di marahi karena merepotkan orang," jawab Rachsya.

"Ok. Aku menurut saja," ujar Amoy.

Setelah mengambil keputusan kami segera menyiapkan peralatan dan meminta izin pada tukang kebun agar kelas tidak ditutup. Izin kami diterima. Suara canda tawa kami mengisi kegelapan di sekolah. Kadang kami menceritakan kisah seram yang membuat Fena ketakutan. Ya, kami senang ketika melihat mimik Fena yang merasa takut.

"Aduuh ... aku kebelet. Bisa tolong antar aku," ujar Fena memohon.

"Iya. Aku akan mengantarmu. Yuk!" ajakku.

Aku pun mengantar Fena keluar kelas menuju toilet. Sekilas lampu kantor guru masih terlihat terang, berarti ada yang belum pulang. Setelah dari toilet kami mendengar suara ribut dari kantor.

Aku dan Fena mencoba mendekati kantor untuk memastikan keadaan aman. Kami mengintip dari jendela, salah satu dewan guru dan kepala sekolah sedang menunjuk satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi pastinya mereka sedang bertengkar. Aku kasihan kepada salah satu dewan guru yang hamil. Dia memegang kuat perutnya sambil terus memaki kepala sekolah. Yaah ... aku tidak bisa melakukan apa pun. Nanti jika kami menengahi percakapan mereka. Bisa-bisa kami kena marah karena kami belum pulang sekolah. Tidak ada pilihan lagi, aku dan Fena memilih kabur kembali ke kelas.

Bruaaaak ...

Fena menabrak pot bunga secara tidak sengaja. Di dalam kegelapan ini kami berlari terburu-buru, wajar jika Fena menabrak pot bunga. Muncullah cahaya senter dari ruang guru.

"Siapa itu?"

"Oh tidak. Itu kepala sekolah, kita harus lari," aku mengajak Fena pergi secepat mungkin. Aku kembali ke kelas dengan perasaan was was. Bisa saja kepala sekolah mengikuti kami.

"Ada apa Tasya, Fena?" tanya Rachsya khawatir.

Aku dan Fena menceritakan apa yang terjadi. Jangan sampai kepala sekolah menghampiri kelas kami. Pasti dia akan menuduh bahwa kami menguping pembicaraannya dengan dewan guru.

"Kita harus pergi sekarang. Kau tahu bahwa kepala sekolah kita kurang waras. Kita bisa dibunuh karena masalah kecil," ujar Amoy. Aku, Fena, Rachsya, dan Amoy segera mematikan lampu dan pergi lewat gerbang belakang. Untung saja gerbang belakang tidak dikunci.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kepala sekolah bertengkar dengan dewan guru?" tanya Rachsya.

"Entahlah. Mungkin urusan pribadi," jawab Amoy sambil bergidik ngeri.

"Kurang pekerjaan jika harus bertengkar dengan orang kurang waras. Entah siapa yang memilih orang itu untuk diangkat menjadi kepala sekolah," timpalku.

"Kau tahu? Katanya dia adalah mantan pasien rumah sakit jiwa. Pasien rumah sakit jiwa yang terlalu menggilai uang," Amoy tak kalah bicara.

"Uang? Aku kemarin melihat kepala sekolah dengan wajah ketakutan seperti menyembunyikan sesuatu. Apa jangan-jangan dia ..." Rachsya mengira-ngira.

"Korupsi?" tebakku.

"Mungkin saja," jawab Rachsya.

"Aku ingin memecahkan misteri ini," ujarku.

"Sebenarnya ... kemarin aku mendengar pembicaraan kepala sekolah dengan dewan guru yang hamil itu. Ya ... aku mendengarnya. Kata mereka ..." Fena menghentikan ucapannya.

"Kata mereka apa? Jangan membuatku penasaran," tanyaku.

"Mereka mengambil dana sekolah dan membagi dua," jawab Fena.

"Dugaanku benar selama ini. Kenapa sekolah kekurangan biaya, ternyata ada musuh dalam selimut," Rachsya mengangkat satu alisnya.

"Kita harus kembali ke sana. Perasaanku tidak enak," entah kenapa tiba-tiba aku teringat dewan guru yang hamil itu.

"Tapi, aku takut," ujar Fena.

"Tenang tidak akan terjadi apa-apa," aku menarik tangan Fena dan mengajaknya pergi bersama Rachsya dan Amoy.

Kami kembali ke sekolah, walau Fena masih menarik-narik bajuku untuk pergi tapi aku malah menarik Fena masuk ke sekolah. Kami berjalan mengendap-endap, berharap tapak kaki kami tidak menimbulkan suara. Posisi kami beberapa langkah dari ruang guru dan mendengar suara ribut pertengkaran semakin keras. Entah apa yang diucapkan si dewan guru, hingga kepala sekolah harus mengeluarkan pisau dan menusukkannya ke dalam perut hamil si dewan guru. Kami melihat kejadian itu berteriak histeris tapi untungnya tangan kami bisa membekap mulut kami. Fena mengeluarkan keringat dingin dan gemetaran.

"Kurasa hidup kita tidak akan lama lagi," bisik Fena ke telingaku yang membuatku ikut ketakutan. Aku memberikan arahan kepada teman-temanku agar pergi saja dari tempat ini. Namun, lagi-lagi Fena mulai membuat masalah, dia pingsan di saat yang tidak tepat. Karena kami ribut membangunkan Fena. Kepala sekolah kami mulai keluar dari kantor dan memergoki kami.

"Hei, kenapa kalian masih ada di sini?" tegur kepala sekolah membuat otot kaki dan tangan lemas tak berdaya.

"Kami ... kami ... sedang kerja kelompok Pak," jawabku asal.

"Mampus gue, mampus gue," gumam Rachsya di sebelahku.

"Atau jangan-jangan ... kalian melihat? Aarrgh ..." kepala sekolah berteriak dan mengambil kayu. Beberapa detik kemudian kami tak sadarkan diri.

***

"Bangun ... huust ... bangun," bisik Amoy sambil menyenggol tubuhku yang tersungkur.

Aku terkejut dan berusaha duduk dengan tangan dan kakiku yang sudah terikat. Aku berusaha melepaskan ikatanku tapi tidak bisa. Hingga aku pasrah dan melihat teman-temanku dengan keadaan yang sama.

"Kenapa kalian berusaha ikut campur?" tanya kepala sekolah di kegelapan.

"Kami ... tidak ikut campur Pak," jawab Rachsya.

"Aku tahu kalian awalnya sudah pergi. Tapi kalian kembali lagi hanya untuk mengurangi rasa penasaran kalian. Kalian seharusnya tidak perlu membuatku menambah korban," ujar kepala sekolah.

"Kenapa Bapak melakukan hal seperti ini? Melakukan korupsi di sekolah ini. Seharusnya biaya itu diberikan kepada siswa, bukan dimakan Bapak sendiri," sahut Amoy.

"Kau sudah tahu semuanya? Berarti kau harus mati terlebih dahulu," pernyataan kepala sekolah dilanjut dengan teriakan histeris kami. Karena leher Amoy yang ditusuk dengan pisau lalu mati seketika. Amoy mati pertama kali, lalu disusul dengan kematian kami. Kematian yang membuat kami menjadi hantu penasaran. Malam ini menjadi malam paling bersejarah di sekolah yang katanya populer. Seharusnya aku menuruti kata Fena dan tidak mati konyol seperti ini. 5 sahabat menjadi hantu sekaligus untuk membalaskan dendam kepada siapa saja. Bahkan keturunan si pembunuh sekali pun.

Lorong 313Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang