Bab 2

476 27 1
                                    

Tina Savitri

Aku mengekor mengikuti Mira. Walau dengan perasaan yang tidak nyaman, aku tetap menuruti permintaan sahabatku. Pagi ini kami harus ke sekolah terkutuk itu lagi. Kami akan mencari tahu sesuatu hingga larut malam. Aku kembali tenang ketika mengingat ada pisau, silet, bubuk cabe, korek dan tongkat kasti di tas besarku. Hampir seperti kura-kura ninja karena tas yang jauh lebih besar daripada tubuhku. Aku celingak celinguk mengharap tidak terjadi apa-apa hari ini. Mira menghentikan langkahnya dan bertanya pada seorang anak perempuan yang sedang bersantai.

"Tidak terjadi apa-apa kan kemarin?" tanya Mira.

"Tidak ada kak, maaf saya pergi dulu." Perempuan itu pergi meninggalkan rasa penasaran bagi kami.

Mira mengeryitkan dahinya lalu berkata, "Tidak terjadi apa-apa?"

"Bukankah terjadi pembunuhan? Atau mereka berusaha merahasiakannya?" ujarku.

"Tetaplah tenang. Jangan sampai mereka mencurigai kita," Mira mengajakku segera masuk ke kelas.

Dalam jam pelajaran aku dan Mira tidak memperhatikan penjelasan guru. Kami membuat rencana untuk nanti malam. Berusaha mengendap dalam kegelapan dan pergi ke perpustakaan. Mencari nama siswa yang meninggal waktu itu. Lalu aku akan menceritakan sejarah di sini. Di sekolah ini.

Malam telah tiba, aku memegang tongkat kastiku sedangkan Mira menodongkan pisaunya.

"Kau siap?" tanya Mira.

"Siap sedia," jawabku semangat.
    
"Buka pintunya!" ujar Mira berbisik kepadaku sambil memberikan pisaunya.

 "Aduuh ... bagaimana cara membukanya? Kita tidak membawa senter," timpalku sambil menepuk jidat.

Mira pun mengambil korek api dan membuat cahayanya membantuku membuka pintu perpustakaan. Setelah beberapa menit, akhirnya kami masuk ke perpustakaan dan menutup pintu. Lampu dihidupkan dan memberikan pemandangan berupa rak-rak buku berjajar rapi. Kami melihat pintu bertuliskan "Dilarang Masuk!". Bukannya mematuhi peraturan, kami malah membuka pintu secara paksa.

Bruaak!

Kami melihat banyak arsip kusam dan usang. Mungkin sudah lama tidak dibuka. Namun, dimana arsip sekolah yang baru. Dimana arsip data milik kami jika tidak disimpan di sini? Mungkin sudah dipindah. Suasana yang berdebu dan lembab membuat suasana semakin horor. Kami mulai membuka arsip satu persatu mencari nama Tasya di antara ribuan nama. Namun usaha kami tidak sia-sia. Kami mendapatkan arsip itu.

"Tasya Risania. Betul itu nama yang kau lihat?" tanya Mira memastikan.

"Iya. Benar ini gadis itu. Sebentar ... ini arsip tahun berapa? Kusam sekali," tanyaku melihat arsip yang sangat kotor.

"2001,"

"2001? Ini tidak mungkin. Ini pasti salah. Kita melihat jasadnya kemarin malam. Tentu tidak mungkin jika kita kembali pada masa 16 tahun yang lalu,"

"Ya ini aneh,"

"Atau mungkin ini adalah salah satu di antara rumor yang beredar?"

"Ada rumor apa yang beredar di sini?" tanya Mira sambil menutup arsip itu.

"Ssssst ... jangan keras-keras nanti mereka bisa mendengar kita. Inilah yang ingin kukatakan kepadamu selama ini. Ada 5 orang anak perempuan yang sering dibully. Mereka dibully setiap hari. Hingga salah satu dari mereka memutuskan untuk bunuh diri. Yang lain pun ikut bunuh diri. Arwah mereka sekarang akan membalaskan dendam setiap tengah malam," sambungku panjang lebar.

"Dari mana kau tahu?" tanya Mira tak mempercayai perkataanku.

"Itulah yang kudengar dari anak-anak di kelas tadi," jawabku.

Mira menghela napas, dia sama sekali tak mempercayai gosip itu. Namun, aku sebagai pendengar tentu saja percaya. Banyak orang yang sudah melihat sosok mereka, walau pun masih cerita belaka.

"Bukan 5 gadis yang kulihat di tempat ini. Namun ada sesosok kuntilanak dan tuyul di toilet utara," ujar Mira sambil memasukkan arsip itu ke dalam tasnya.

"Kun ... kuntilanak dan tuyul?" aku terkejut mendengar hal itu. Aku bukan orang yang pemberani. Tetapi aku juga bukan orang yang penakut. Setidaknya Mira tidak usah menceritakan hal ini sebelum pulang ke rumah.

"Ayo pulang! Kita sudah menemukan yang kita inginkan. Tinggal rencana selanjutnya," Mira membuka pintu perpustakaan dan menarikku keluar.

Aku berharap Mira tidak melakukan apa pun yang membuatku sengsara lagi.

***

Kami bangun seperti biasa ketika matahari menyorotkan cahayanya. Kami bisa berbincang dengan keluarga kami di hari minggu seperti ini. Namun, lagi-lagi Mira mengenakan jaketnya dan mengajakku keluar.

"Kita mau kemana Mir?" tanyaku lelah.

"Mencari tahu," jawabnya.

"Lagi? Sudahlah Mir. Hari ini adalah hari Minggu. Di rumah kita bisa bermain dengan adik baru kita atau menunggu seseorang di luar untuk menjemput kita,"

"Tidak. Aku tidak mau diadopsi sebelum aku menemukan yang sebenarnya,"

"Mir, ini takdir kita. Orang tua kita memang lebih disayangi oleh tuhan. Jadi cukup jangan mencurigai apa pun lagi,"

"Kau tidak mengerti perasaanku,"

"Aku mengerti perasaanmu. Kita sama-sama yatim piatu. Kehilangan orang tua adalah hal yang tidak diinginkan,"

"Kau tidak mengerti. Kau kehilangan orang tua ketika kau masih bayi, jadi kau tidak merasakan kehilangan begitu dalam. Lihatlah aku, aku kehilangan orang tua dan kakakku ketika aku duduk di kelas 7. Beruntung aku masih waras sekarang,"

"Entah bayi atau remaja. Semuanya pasti merasakan kehilangan,"

"Sudahlah. Bilang saja kau tidak mau membantuku. Aku bisa berjalan sendiri tanpamu. Kau memang tidak bisa diandalkan." Mira pergi meninggalkanku dengan kesal. Aku mengerti perasaannya. Tapi aku ingin sehari saja untuk beristirahat. Tidak nyaman jika harus terus menerus mengendap.
    

Lorong 313Onde histórias criam vida. Descubra agora